Intisari-Online.com – Dunia intemasional menyebutnya sebagai thai boxing atau tinju dari Thailand. Namun di negeri asalnya, olahraga tradisional yang telah mendunia ini disebut muay thai.
Muay sendiri diambil dari bahasa Sanskrit, mavya (pukulan beladiri), serta thai yang berasal dari Suku Tai. Tapi jika dua kata itu digabungkan, artinya keseluruhannya menjadi seni delapan lengan yang merupakan istilah lain untuk beladiri tradisional dari Negeri Gajah Putih ini.
Delapan lengan? Ya, muay thai memang sebuah beladiri tangan kosong atau tanpa senjata sama sekali.
Pendekar muay thai harus memaksimalkan bagian-bagian tubuh mereka, seperti kepalan tangan yang memukul laksana anak panah, lengan yang menebas seperti pedang, sikut dan lutut yang menjadi kapak perang, tulang kering menusuk seperti tongkat dan tombak.
Baca juga: Tidak Hanya Beladiri, Perempuan Berlatih Tinju Demi Sehat dan Langsing
Sejarah muay thai sendiri ada beragam versi. Banyak yang menyatakan, seni pertarungan ini sudah ada sejak seribu tahun lalu di kawasan yang kini menjadi bagian dari negara Thailand, Myanmar, serta Kamboja.
Namun ketika bangsa Burma menguasai Kerajaan Ayutthaya, catatan sejarah awal tentang muay thai lenyap. Malah ada yang akhirnya menyatakan asal muasalnya sesungguhnya dari beladiri Cina.
Jatidiri muay thai mulai terbentuk sewaktu pemerintahan Raja Naresuan (1555-1605) yang mewajibkan para prajurit kerajaan untuk mempelajarinya.
Dari sinilah seni pertarungan rakyat yang semula disebut chupasarat mulai terbentuk teknik-teknik yang menjadi dasar dari muay thai yang kita kenal sekarang.
Baca juga: Digemari Petinju Dunia, Inilah 3 Sarung Tinju dengan Harga Termahal
Perkembangan muay thai semakin pesat di masa pemerintahan Raja Pra Chao Suua (1662-1709) yang sangat menyukai beladiri ini sekaligus menguasainya.
Bukan hanya tentara, tapi rakyat juga ikutan gandrung. Bahkan hampir setiap pria pasti pernah mempelajarinya.
Setiap kampung memiliki acara pertandingan, dengan arena pertandingan, serta juaranya masing-masing. Tradisi pertandingan tingkat lokal ini sampai sekarang masih berlangsung.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR