Aku dapat merasakan jantungku berdegup kencang karena cemas. Salib kayu yang kuselipkan di sela ikat pinggang kugenggam erat-erat. Akhirnya, aku ditemukan dan diseret dari bawah meja.
Di hadapanku berdiri seorang Jepang besar gemuk dan botak. la memandangku sambil menyeringai. Aku menendang tulang betisnya.
la tetap berdiri tertawa-tawa saja. Aku terus melawan, menendang, dan berteriak protes. Tetapi sia-sia belaka. Aku memekik "Niet doen, niet doen", kemudian dalam bahasa Melayu "Jangan, jangan".
la menyeretku ke kamar. Setiba di kamar tidur, ia menutup pintu. Aku lari ke pojok kamar. Dalam bahasa campuran Inggris dengan Melayu aku mencoba menjelaskan, kalau aku berada di situ bukan atas kehendakku.
Dia tidak berhak untuk melakukan hal itu terhadap diriku.
Aku jongkok di pojok seperti binatang buruan. "Oh, Tuhan, tolonglah aku," aku berdoa. "Tuhan, jangan biarkan ini terjadi pada diriku."
Sementara itu si Jepang memandang rendah kepada diriku. Maklum, ia telah membayar mahal untuk malam perdana ini. Makanya ia jengkel dan marah bukan main.
Seraya menghunus pedang dari sarung dan mengarahkannya kepadaku, ia mengancamku dan memekik dengan suara serak khas Jepang, "I kill, I kill."
Sekonyong-konyong muncul kekuatan luar biasa memenuhi diriku. Suatu kekuatan yang belum pernah kurasakan. Aku berkata kepada si Jepang, bunuh saja aku.
Aku tak takut mati. Lagilagi ia mengarahkan pedangnya ke tubuhku. Aku memohon kepadanya membiarkan aku berdoa sebelum aku dibunuhnya.
Aku berlutut untuk berdoa dengan ujung pedang menempel di kulitku. Kukira pada saat itu aku lebih mencintai Tuhan daripada yang sudah-sudah.
"Ya Tuhanku, aku mencintai-Mu. Tetaplah dekat denganku." Sementara itu, si Jepang habis kesabarannya.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR