Sementara rumah ini telah berubah menjadi sebuah bordil, di kamar mandi terdapat barang-barang aneh. Aku tak punya gambaran benda-benda apa itu. Atau untuk apa barang itu.
Malam pembukaan tiba. Kami semua sangat takut. Belum pernah aku merasakan kecemasan yang begitu melumpuhkan.
Kami semua masih perawan dan polos. Pada malam pembukaan itu, "harga" kami cukup tinggi sebab kami perawan.
Diancam pedang
Aku tak akan pernah melupakan kecemasan itu. Rasanya derita itu tetap bersamaku seumur hidupku - hingga hari ini. Aku tahu hanya doa yang dapat menolong kami.
Yang jelas, hari demi hari semakin banyak anggota militer Jepang mendatangi rumah itu. Mereka berbicara berisik dan tertawa. Sepatu bot berderapan di lantai. Kami diperintahkan masuk ke kamar masing-masing.
Tapi kami menolak. Kami berdekapan dan saling melindungi. Seluruh tubuhku telah habis dirajam ketakutan.
Juga setelah 50 tahun, aku masih menghayati perasaan kecemasan total yang mengaliri tubuhku. (Pada saat-saat yang aneh perasaan itu membanjiriku.
Kerap bila aku sedang menonton TV, atau melihat film perang lama, aku menjadi terbangun dengan mimpi buruk.
Masih terasakan juga bila terbaring di ranjang di malam hari. Tetapi yang terburuk, setiap kali kecemasan kembali menyergap bila suamiku tidur bersamaku. Aku tidak pernah dapat menikmati hubungan badan!)
Tibalah saat yang paling mengerikan. Satu per satu gadis-gadis itu diseret ke kamar tidur masing-masing. Sambil menangis dan meronta-ronta, mereka memohon, berteriak, menendang-nendang, dan melawan sekuat tenaga.
Demikian hal itu berlangsung terus, hingga akhirnya mereka dengan paksaan dimasukkan ke dalam kamarnya.
Setelah beberapa saat bersembunyi di bawah meja kamar makan, aku sempat mendengar tangisan dari kamar-kamar tidur itu.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR