Siang harinya kami memperoleh nasi goreng porsi penuh. Itulah pertama kalinya kami memperoleh makanan layak sejak diinternir.
Tetapi karena dicekam rasa takut, kami tidak berselera. Sepasang pembantu pria dan wanita memperkenalkan diri. Katanya, mereka akan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga bagi kami; memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah.
Mereka memandang penuh pengertian dan maaf. Ya, mereka juga tahu apa yang kami takutkan. Malam itu aku tak bisa tidur, demikian pula gadis-gadis yang lain.
Akhirnya, kami semua berbaring di ranjang besar, saling berdekapan untuk mencari penghiburan dalam doa.
Hari berikurnya datanglah beberapa perwira tinggi Jepang. Kami semua dipanggil ke kamar duduk. Komunikasi dengan orang-orang Jepang selalu sulit.
Tentara yang terdidik atau berposisi tinggi, kebanyakan berbicara bahasa Inggris sedikit-sedikit.
Beberapa di antaranya telah cukup mengerti bahasa setempat, hingga kami mengerti sedikit. Mereka memberi tahu, kami dibawa ke tempat itu untuk kenikmatan seksual perwira Jepang. Dengan kata lain, kami berada di sebuah bordil Jepang!
Percobaan melarikan diri hanya sia-sia belaka karena rumah ini dijaga ketat. Di rumah itu kami diharuskan memenuhi satu tujuan, yakni melayani nafsu seks orang Jepang. Jadi, kami dipaksa menjadi budak prostitusi.
Seluruh tubuhku menggigil ketakutan. Ini berlawanan dengan hak-hak asasi manusia! Melanggar Konvensi Jenewa.
Kami lebih baik mati daripada jadi budak seks. Orang-orang Jepang itu hanya tertawa-tawa. Mereka mengatakan, telah menguasai kami. Jadi, mereka dapat berbuat semaunya.
Hari berikutnya kami melihat rumah itu ditata sebagai kamar tamu. Di situlah tentara Jepang mengobrol dan bermain kartu dengan gadis pilihan mereka.
Kami diperintahkan membuat foto untuk kemudian dipasang pada papan di kamar tamu. Lalu datanglah kiriman bunga. Setiap gadis memperoleh jambangan bunga di kamar masing-masing.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR