Salah seorang opsir memerintahkan 10 gadis maju. Sisanya boleh kembali menemui ibu mereka. Aku termasuk dalam kelompok 10 itu.
Melalui seorang juru bahasa, kami mendapat perintah untuk membawa barang-barang dalam tas kecil. Setelah itu langsung melapor ke kantor kamp. Di situ telah menunggu sebuah mobil tentara untuk mengangkut kami.
Seluruh penghuni kamp mengajukan protes sekuat tenaga. Hiruk pikuk penuh teriakan, tangis, dan protes. Tapi sia-sia. Hak asasi kami direnggut. Kebebasan kami hilang. Kami bagaikan domba-domba yang hendak disembelih. Remuk dan tak berdaya.
Penjaga kamp hanya melongo saja ketika kami mengemasi barang-barang. Aku memasukkan pula kitab suci, salib, serta rosario. Tampaknya pada saat itu benda-benda inilah yang paling penting.
Seakan-akan merupakan senjata yang memberiku rasa aman dan kekuatan.
Saat untuk berpisah tiba. Kedua adikku menangis, sementara ibu dan aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali saling menatap dan mendekap erat. Akan dibawa ke mana aku?
Apakah kami akan saling bertemu lagi?
Sambil menangis kami didorong masuk ke dalam truk. Kelompok kami masih ditambah 6 gadis lagi. Seluruhnya berjumlah 16 orang dari Kamp Ambarawa. Kami berjongkok seperti binatang ketakutan. Tak ada gambaran akan diangkut ke mana.
Aku mulai sadar, truk melalui jalan besar dari Ambarawa ke Semarang. Aku sering melalui jalan itu dengan seluruh keluarga untuk berlibur di tempat kakek.
Tiba-tiba truk itu direm dan membelok masuk jalan menuju rumah besar. Tujuh gadis termasuk aku diperintahkan turun.
Bordil para perawan
Dengan perasaan tak keruan kami digiring masuk ke rumah pimpinan perwira Jepang. Aku mulai curiga. Tiap gadis memperoleh kamar tidur masing-masing yang telah ditentukan. Rumah bekas milik warga Belanda itu disebut orang Jepang "Wisma Tujuh Lautan".
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR