Setiap menit, setiap setengah jam yang dapat menunda perkosaan, amatlah penting bagiku.
Sebab begitu seorang Jepang selesai, yang lain telah menunggu. Tak pernah ada seorang Jepang yang memperkosaku tanpa didahului dengan pergumulan dan pergulatan sengit.
Aku kerap kali diancam dengan pembunuhan. Maklum, dalam pergumulan itu aku benar-benar menghantam, menjotos, menendang, atau mencakar, bahkan melukai mereka.
Maka aku diperingatkan supaya menghentikan pergulatan itu. Jika tidak, aku akan dipindahkan ke bordil para prajurit di kota, sebuah bordil dengan gadis-gadis pribumi.
Di sana keadaannya jauh lebih buruk. Untung, ancaman itu tidak pernah dilaksanakan.
Pada suatu hari datang seorang dokter militer Jepang. Aku langsung berpikir ia mungkin dapat menolong kami.
Aku lalu berbicara dengannya, menjelaskan keberadaan kami. Dengan kedua belah tangan terjalin di belakang kepala, dokter itu hanya memandangku dari kepala hingga kaki.
Ia sama sekali tak memperlihatkan rasa belas kasihan ataupun permohonan maaf. Tetapi paling sedikit aku telah berusaha.
Tiba-tiba dokter itu berdiri dengan mendadak dan menghampiriku. Ia mencoba menangkapku. Tapi aku lebih cepat.
Aku lari ke,luar kamar dan masuk kebun untuk sembunyi. Aku lari masuk ke kandang ayam. Kandang itu agak rendah dan kecil, sedangkan Jepang itu besar dan gemuk.
Beberapa saat kemudian sebuah tubuh gemuk, terengah-engah mencoba memperkecil diri masuk ke kandang.
Keseluruhan ini dibarengi dengan tertawa terbahak-bahak para penonton. Seperti biasanya akulah yang kalah. Pada hari pertama kunjungan dokter itu, aku diperkosanya dengan kejam.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR