Tak pernah terbayangkan betapa penderitaan ini begitu dahsyat. Bagaimana aku dapat mengatasi hari-hari dan bahkan bulan-bulan berikutnya?
Pada akhir malam perdana yang mengerikan, dalam jam-jam pertama di malam itu, 7 orang gadis ketakutan merangkak saling berdekapan. Mereka kelelahan, menangisi keperawanan mereka yang telah hilang.
Pemimpin doa
Siang hari kami merasa agak aman, walau rumah itu selalu penuh dengan orang Jepang. Mereka datang dan pergi. Mengamati kami dari kepala hingga ujung kaki. Kami sangat takut menghadapi malam yang akan tiba.
Begitu mulai gelap, rumah itu pun segera "dibuka". Tubuh kami pun habis ditelan kecemasan mengerikan. Setiap malam aku mencoba bersembunyi di lain tempat. Tapi aku selalu ditemukan. Akhirnya, tempat-tempat persembunyianku pun segera habis.
Aku bahkan pernah memanjat pohon. Tapi mereka menemukanku juga. Aku diseret ke kamar tidurku, setelah dicaci maki habis-habisan.
Tapi tiap menit, tiap detik, upaya itu membantu menunda dimulainya malam yang mengerikan itu.
Agar tampak tak menarik sama sekali, aku mencukur rambut dengan gunting di laci toilet. Aku memandangi diriku yang begitu buruk di cermin.
"Sekarang pasti tak ada yang menginginkan diriku," demikian pikirku. Namun kemudian tersiar kabar, salah seorang wanita mencukur gundul dirinya. Aku malah jadi tontonan.
Dengan berjalannya waktu, kami semakin sering membicarakan keadaan kami, serta bagaimana kami menghadapinya sebaik- baiknya. Kami berbagi kecemasan, sakit, dan hinaan-hinaan.
Kami saling memerlukan dukungan. Terjalinlah ikatan cinta dan persabahatan di antara kami. Gadis-gadis itu mencari kekuatan rohani pada diriku. Setiap hari aku memimpin doa.
Di samping itu dengan berbagai permainan kartu kami dapat menunda saat perkosasan yang tak terhindarkan itu.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR