(Empat Kota Terbaik untuk Para Pecinta Piringan Hitam)
Dangdut disko yang mengandalkan MIDI (Musical Instrument Digital Interface), bunyi-bunyian artifisial menguasai pasar selama 1991-1994. Memasuki tahun 1995-1996, tiba giliran dangdut tradisional yang mengandalkan alat khas seperti gendang, sitar, dan suling, membuat lagu yang bervariasi. Maka lahirlah penyanyi-penyanyi muda berwajah cantik dan bersuara khas dangdut tahun 1996: Evie Tamala (27 tahun), Iis Dahlia (24), Ikke Nurjanah (22), Cucu Cahyati (25), mendampingi pendahulu mereka yang tetap berjaya seperti Elvy Sukaesih (45), Camelia Malik (41), Rita Sugiarto (36), Itje Trisnawati (36), juga penyanyi pria seperti Mansyur S (48), Meggy Z (51), dan Rhoma Irama (49).
Meski tidak mendapat porsi sebanyak musik dangdut, musik rock juga telah lama menancapkan eksistensinya, terutama sejak perubahan politik Orde Lama ke Orde Baru. Surabaya memiliki AKA (kemudian menjadi trio SAS minus Ucok Harahap), Bandung melahirkan Rollies, Freedom of Rhapsodia, Giant Step, Harry Roesli, Trio Bimbo, Remy Rylado, Deddy Dores, dll.
Pada tahun 1970-an, musik rock didukung penuh oleh pertunjukan panggung dan liputan media, terutama Majalah Aktuil (pada 1975, majalah ini sukses menggelar konser Deep Purple di Jakarta).
Di musik jazz, nama gitaris Jopie Item terbilang paling berhasil hadir di panggung dan rekaman. Berkat tangan Jopie muncul para penyanyi seperti Rien Djamain, Margie Siegers, Ermy Kullit, Nunung Wardiman, Cici Sumiati, dll. Di kalangan pemusik muncul Embong Rahardjo, Christ Kayhatu, Abadi Soesman, Yance Manusama, Udin Syach, dkk. yang kemudian dibukakan jalan oleh Peter Gontha tampil di North Sea Jazz Festival, Negeri Belanda.
Tekanan politik Orde Lama dan Orde Baru yang melarang peredaran dan dinyanyikannya lagu-lagu Mandarin di tempat umum, justru melahirkan lagu-lagu Indonesia berirama Mandarin. Diawali Titiek Sandhora tahun 1971 dengan lagu-lagu Terang Bulan di Gunung, Si Cantik Jelita, Dayung Sampan, dengan sebagian besar menjiplak lagu Mandarin.
Industri musik Indonesia tahun 1975 bagai hutan belantara. Jiplak-menjiplak terjadi begitu saja, seakan-akan sebuah lagu tidak ada pemiliknya. Itulah yang terjadi pada lagu Ling Ling yang tiba-tiba dinyanyikan Lily Junaedi dengan judul Kenangan Manis. Lagu Dinding Pemisah yang dinyanyikan Merry Andani dalam irama dangdut tahun 1993 juga mirip Kai Sen Yen.
Rekaman suara penyanyi legendaris Teresa Teng yang diproduksi PT Suara Sentral Sejati dengan lisensi PolyGram seharga Rp11 ribu per kaset dan yang tanpa lisensi diterbitkan Saktimas Audio Records dengan harga Rp7.000, bisa ditemukan bersama-sama di satu toko kaset. Anehnya, dua duanya mencantumkan tanda lolos sensor dari Kejaksaan Agung RI.
Sementara itu, kaset keroncong yang biasanya di jalur lambat peredaran, pada 1996 tiba-tiba melejit dengan keroncong disko-reggae yang dilakukan sejumlah orang muda. Lagu Keroncong Dinda Bestari, Keroncong Telomoyo, Keroncong Dewi Murni, dsb. diaransemen ulang dengan teknologi musik baru sehingga mendekati jenis pop-disko atau dangdut disko. Tokoh yang kemudian dikenal adalah Rama Aiphama, yang bisa menghasilkan kaset hingga ratusan ribu buah.
Berbicara tentang jumlah kaset yang meledak, setelah lagu Jangan Sakiti Hatinya oleh Iis Sugianto, yang kata Rinto Harahap, pencipta lagunya, mencapai empat juta buah, JK Records juga menghasilkan lagu Tak Ingin Sendiri (Dian Piesesha) ciptaan Pance Pondaag yang terjual dua juta buah. Agak mengejutkan, rekor penjualan kaset itu justru didekati bukan oleh album lagu pop, melainkan album salawat Haddad Alwi, “Cinta Rasul I” (1999) yang terjual 1,5 juta buah.
Dalam sejarahnya, kaset lagu-lagu rohani memang ada yang mencapai angka penjualan fantastis seperti terbitan Maranatha Records (1996), lagu Di Doa Ibuku Namaku Disebut yang dinyanyikan Natasha Nikita (8 tahun), yakni 500 ribu buah.
Angka yang dikeluarkan oleh perusahaan rekaman itu merupakan angka resmi dan bisa diverifikasi. Tapi adalah kenyataan, di masyarakat juga beredar versi bajakan yang jumlahnya bahkan bisa berlipat kali. Salah satu bukti adalah beredarnya rekaman konser amal “Live Aid” serentak di London dan Philadelphia, AS, 13 Juli 1985, dan konser Band Aid menjelang Natal 1984.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR