Ketika video mulai membudaya, Lokananta juga menggandakan video. Perusahaan rekaman dengan peralatan paling lengkap dan paling modern pada zamannya itu belakangan mengalami masa suram. Pada 1997 dinyatakan pailit, dan pada 18 Mei 2001 dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Perusahaan itu lantas ditempatkan di bawah Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Surakarta.
Lokananta berjasa melakukan dokumentasi kebudayaan dalam bentuk audio. Di sana paling tidak tersimpan sekitar 40.000 PH yang merupakan master rekaman musik, gending ataupun iringan tari. Juga ada rekaman pidato Presiden Soekarno di berbagai kesempatan.
Pada 1954, Republic Manufacturing Company Limited (Remaco) didirikan di Jakarta oleh Jan Tjia, pemilik National Plastic Company (Naplasco). Ketika ditangani sang pendiri, Remaco memproduksi lagu-lagu keroncong dan hawaiian. Saat pengelolaan diserahkan kepada Eugene Timothy, meluncur deras grup musik dan penyanyi pop dan dangdut.
Tahun 1955 berdiri pabrik PH Metropolitan dengan label rekaman Mutiara, Canary, Fontana, dan Bali Records. Selanjutnya beranakpinak menjadi Musica Studio’s, Ris Music Wijaya International, Hemagita, dan Warner Music Indonesia. Pemiliknya, Jamin Widjaya atau akrab dipanggil Amin Tjengli, adalah sahabat Bing Slamet sejak kecil.
Seniman serba bisa ini mengajak Jamin dan Idris Sardi membentuk grup musik. Lantas bergabung Ireng Maulana, Benny Mustafa, Itje Kumaunang, Darmono, dan Kamid membentuk band Eka Sapta yang siap memainkan jenis musik apa saja.
Amin Tjengli meninggal pada 22 Juli 1979 dalam usia 50 tahun. Lima tahun sebelumnya, Bing Slamet mendahului, demikian pula drummer Eddy Tulis. Eka Sapta seperti ayam kehilangan induk. Tapi Musica Studio’s terus berjaya di tangan istri Amin, Lanni Djajanegara, dan anak-anaknya, Sendjaja Widjaja, Indrawati Widjaja, Tinawati Widjaja, dan Effendi Widjaja.
Kaset penggusur piringan hitam
Masa keemasan Mas Yos dengan Irama-nya, dengan jumlah PH terjual 30.000/bulan pada tahuntahun 1962, 1963, 1964, merosot jadi 10.000 pada 1966. Menjelang gulung tikar tahun 1967, produksi PH Irama hanya 2.000. Di samping penjualan merosot, yang membuat Irama tak bisa bertahan adalah pajak penjualan dan pajak barang mewah sebesar 34%, serta 30% potongan untuk penyalur atau agen. Irama mendapat 36% sisanya, yang harus dibagi lagi untuk royalti pencipta lagu, pemusik, dan penyanyi.
Era memang berganti. Piringan hitam digantikan oleh kaset yang lebih murah dan melibatkan peralatan yang lebih sederhana. Namun pemegang peran paling besar dari massalnya peredaran kaset adalah para pelanggar Hak Cipta alias pembajak. Mereka merekam lagu-lagu dari PH ke dalam format kaset. Perusahaan PH mati kutu.
Terlepas dari kemudahannya untuk dibajak, kaset juga membawa pada masa keemasan musik Indonesia. Remaco sukses dengan album-album Koes Plus. Ini kemudian mengilhami grup musik lain seperti Mercy’s, D’Lloyd, Favorite’s, dll. Didukung oleh berkembang-nya acara musik di TVRI.
Tapi album musik yang cukup fenomenal justru terkenal tidak melalui TVRI, tetapi sebagai ilustrasi film dan kemudian dipopulerkan oleh siaran radioradio swasta pada akhir 1970-an, “Badai Pasti Berlalu”. Album ini dikerjakan oleh personel yang sebelumnya terlibat dalam produksi bersama Guruh Soekarnoputra dalam album “Guruh Gypsy”. Melesatlah nama Chrisye dan Berlian Hutauruk sebagai penyanyi, juga Erros Djarot dan Yockie Soeryoprayogo sebagai pencipta lagu/penata musik.
Jenis musik yang ikut menikmati masa keemasan kaset adalah dangdut, yang sampai menjelang akhir 1990-an tak pernah surut. Menurut para distributor di Glodok, Jakarta, yang menyalurkan kaset ke seluruh Indonesia, 30 hingga 40% produksi kaset lagu Indonesia adalah musik dangdut. Sifat hibrida dangdut dengan mudah bisa berbaur dengan warna musik lain.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR