Razia oleh petugas dalam selalu diakhiri dengan penebusan.
Setiap napi harus membayar kembali narkoba miliknya yang disita. Dalam skala besar, narkoba yang dirampas oleh kaki tangan sindikat dijual ke luar. Sebagian masuk lagi dan dibeli sendiri oleh napi.
Mick pernah memaki-maki mendapati ekstasi buatannya, lengkap dengan cap dan tanda khas, masuk lagi dan dijual Arman.
Tapi bisa juga narkoba dari dalam dipakai ke luar. "Kurang hebat apa? Aku tahanan, tapi aku yang mentraktir teman di luar pesta narkoba," kata Ruggiero ketika suatu saat "liburan" ke luar penjara.
Acara itu lazim dilakukan asal membayar semua keperluan. Surat keterangan dari kepala penjara, izin berobat dari dokter, honor petugas pengawal, biaya makan dan kendaraan, dll.
Tapi pernah terjadi, seorang napi asal Taiwan, Tommy, memanfatkan itu untuk menghilang. Pernah juga terjadi napi tertangkap setelah lepas, sementara pengawalnya tertangkap polisi di rumah bordil.
Hari-hari bezuk juga dimanfaatkan untuk jual beli narkoba atau menyelundupkan benda lain. Memang ada larangan, "Itu bullshit semua. Anda bisa memasukkan gajah kalau ada uang," kata Steven, napi Inggris.
Di ruang beratap asbes yang ukurannya sepertiga lapangan tenis itu acara temu kangen napi dengan kerabat selalu dilakukan. Semua berdesakan namun tak saling mempedulikan.
Ada yang berciuman, ada pula yang melakukan seks oral. Sementara tak sedikit anak kecil berlarian. Filo, napi Prancis yang terkenal gila, cuek saja duduk membiarkan pacar Indonesianya duduk di atasnya.
Sekalipun si perempuan mengenakan rok panjang, orang tahu dia sedang apa. Filo hanya membuka-tutup mata sambil mengepulkan asap rokok.
Kebutuhan pokok seperti rokok bisa didapatkan di sel yang dijadikan toko oleh pemiliknya, Wayan, bekas dosen fakultas ekonomi yang dihukum empat tahun karena membunuh pria yang menyelingkuhi istrinya.
Napi perempuan pun tak kalah aktif. Meski mereka terlinai seperti sekedar duduk di pangkuan pacar atau suami, aktivitas seksual telah terjadi. Seorang napi perempuan berhasil memodifikasi celana jeans dengan ritsleting di bagian bawah.
Dipaksa pindah
Pukul 4.30 pagi Ruggiero dibangunkan oleh dua penjaga. Ia tak sempat berganti pakaian kecuali menyelipkan telepon ke kantong celana pendeknya. Di halaman kantor, berjajar serombongan polisi bersenjata laras panjang.
Ternyata sudah ada Arman, Michael, Vicente, dan dua orang Nigeria. Tangan mereka diborgol. Semua bingung dan tak siap. Kemudian muncul Juri bertelanjang kaki. Setelah itu muncul Nita.
"No question, no answer," kata polisi saat Ruggiero bertanya. Para napi minta izin untuk mengambil bawaan tapi tak diperbolehkan. Polisi itu membisu semua.
Sipir yang sehari-hari mereka kenal pun hanya bilang, "Kami tak tahu apa-apa."
Ruggiero mengirim pesan pendek ke konsulat Brasil, tapi tak berbalas. Dengan dua minibus mereka berdelapan dibawa ke bandara. Masing-masing diberi sebotol air mineral dan sebungkus nasi goreng.
Saat menjelang masuk ke pesawat terbang, di antara tatapan mata pengunjung bandara, ada orang Italia menyapa. "Aku mau dipindahkan. Aku sudah lama di penjara sini," kata Juri.
Mereka masuk ke dalam pesawat setelah penumpang di deret depan dan tengah duduk. Satu jam kemudian pesawat berhenti di Surabaya. Vicente, Nita, Michael, dan Arman turun. Sisanya meneruskan penerbangan ke Jakarta.
Ya, di kota yang panas itu Ruggiero, Juri, dan dua napi Nigeria mendarat. Mereka langsung menuju ke Cipinang. Mereka diberi seragam, lantas dibawa ke sel isolasi yang akan mereka tinggali selama dua minggu.
Sebelum itu, dua penjaga memukul dan menendang mereka. Dua-tiga kali.
"Ini Jakarta, bukan Bali," kata salah seorang. "Yeah, I know. Tapi saya enggak butuh pukulan," kata Juri.
Pagi itu di Kerobokan, Ade, istri Juri, datang seperti biasa. Ia mendaftar dan menyerahkan Rp5.000,- kepada penjaga, tapi ditolak. Saat ditanya kenapa, dia bilang, Juri sudah dipindahkan. Ade pun jatuh pingsan.
Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari edisi Mei 2010, oleh Mayong S. Laksono
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR