Akan tetapi kini hanya yang tua-tua saja yang mengenal "alam mimpi". Sesudah peradaban, datanglah penjauhan dari alam mistik dan alam yang masih murni. Mungkin hanya beberapa dasawarsa, mungkin hanya satu generasi lagi sampai para Pintubi sudah lupa akan apa yang tadinya merupakan dunia mereka.
Sebab yang muda-muda menganggap bahwa tempat yang terbaik adalah di depan gelas minuman keras.
Alkohol menemui korban-korban yang tidak melawan. Dalam beberapa tahun saja, anak-anak padang gersang tadi telah bertukar kehidupan. Apa yang menjadi kebudayaan mereka dan yang mereka hargai diganti dengan kehidupan yang tidak menentu di samping masyarakat beradab.
Perjuangan untuk kelanjutan hidup kini tidak usah dilakukan lagi. Mereka mendapat pakaian, makan dan uang dari pemerintah.
Mereka hidup tanpa tujuan. Manusia-manusia zaman batu yang terlampau lekas dipindahkan ke zaman atom. Yang tua-tua dengan sia-sia ingin mempertahankan identitas, rituil-rituil yang mistis dan semua yang mereka percaya serta alam dan kekuatannya yang misterius.
Kadang-kadang mereka masih berhasil melakukan hukum-hukum suku bangsa. Sebab Katatschi masih ada. Kataschi itu berarti maut bagi orang yang melanggar hukum kemasyarakatan kelompok. Dan Kataschi itu sama misteriusnya dengan "pelarian" dari dunia yang nyata ke dunia mimpi.
Apakah akan dilaksanakan hukuman mati atau tidak, itu diputuskan oleh musyawarah sesepuh sebagaimana juga terjadi pada semua hal yang dianggap penting. Sebab-sebab untuk hukuman demikian adalah mungkin melarikan seorang wanita, pembunuhan di dalam kelompok sendiri, pencurian milik bersama.
Waktu hukuman dijatuhkan, seorang dari musyawarah sesepuh menunjuk ke arah korban. Tidak perduli di mana ia berada, mungkin 100 meter, mungkin 100 kilometer dari situ, korban akan merasa musibah datang. Meskipun demikian, ia tidak akan mencoba untuk melarikan diri.
Dari hari ke hari yang dihukum menjadi pendiam. Seakan-akan ia sedang mempersiapkan diri bagi maut. Anak-anak menertawakannya jika ia berjalan acuh tak acuh lewat desa. Matanya memandang ke kejauhan dan gerakan menjadi kaku.
Kemudian pada suatu hari ia meninggalkan desa. Tidak seorangpun yang berbicara dengannya sesudah ia dijatuhi hukuman. Ia pergi ke hutan seorang diri.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR