Saya melompat sambil menyentuh tangkai pengungkil jebakan. Cuma saja pintu tidak menjeblak terbuka, karena pengungkilnya diganjal erat.
"Kalian mesti cepat!" komentar Hughes. Kini tiba giliran saya menjadi terpidana mati. Walaupun cuma latihan, ngeri juga menerima tepukan di pundak, bangun, ditelikung, dan digiring ke ruang eksekusi.
Di situ menunggu tali gantungan yang makin lama makin dekat. Lalu saya berdiri di pintu jebakan. Algojo menstop dan tahu-tahu kepala saya sudah terselubung. Terasa seseorang mengikat pergelangan kaki dan tali pun mengalungi leher. Ada sesuatu menyentuh dagu, napas pun jadi sesak ....
Meskipun cuma sebentar, rasanya lama sekali. Karena itulah algojo dan asistennya harus bekerja cepat. Cepat tanpa keliru sedikit pun. Jadi kami berlatih, berlatih, berlatih terus.
Pada hari ketiga, kami belajar menangani terpidana mati yang melawan ketika akan digiring ke ruang eksekusi. Ia mesti diringkus dengan bantuan petugas penjara.
Sehabis makan siang, kami praktek dengan mempergunakan dumi. Dumi yang diumpamakan sebagai korban itu tidak lain daripada kantung kanvas sepanjang 1 m. Kantung itu diisi dengan pasir dan beratnya antara 60 - 70 kg.
Kepalanya dari kulit. Dumi itu biasanya dipakai untuk menguji tali gantungan sehari sebelumnya. Yang menguji segala peralatan haruslah algojo bersama asistennya.
Dumi itu ditaruh di tempat yang ditandai dengan coretan kapur, lalu lehernya dililit dengan handuk supaya agak tebal, sebelum dikalungi tali.
Kemudian Hughes menunjukkan cara mencabut alat pengaman dan ganjalan pada pengungkil. Ketika semuanya sudah beres, pengungkil didorong dan terdengarlah suara berdebum yang sangat nyaring. Dumi merosot 2 m, lalu tergantung diam. Kepalanya terkulai ke satu arah.
Suasana hening sekali, ketika kami mengamatinya. Tali dan dumi diam, tak bergoyang sedikit pun.
Hughes bersuara, "Kalau kantung pasir itu manusia, kita akan membiarkannya sejam, sebelum diturunkan."
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR