“Salah satu caranya ya jauhi saja medan itu,” tutur Romo Lukman.
Atau, kalau tidak mungkin menjauhi atau menyingkir, bisa dinetralisasi dengan kompensator berupa kumparan tembaga yang dipasang di tempat tersebut untuk mengimbangi medan elektrostatis yang ada.
Cara yang sama juga dianjurkan oleh dr. Jatno, di samping cara lain yang sifatnya tradisional, mudah, dan murah.
“Yakni dengan menaruh garam, jeruk sitrun, kertas koran di bawah tempat tidur. Caranya, dua sendok garam ditaruh di lepek lalu jeruknya diletakkan di atasnya. Sedangkan empat lembar kertas koran digelar di bawah kasur. Setelah satu minggu, garam dan kertas korannya diganti, sedang jeruknya dapat dimakan, he…he…he…”
Pada kasus tertentu Jatno menganjurkan, di bawah tempat tidur diletakkan lempengan timbal atau timah hitam, dengan pengertian sinar-X saja tidak dapat menemus timbal, diharapkan begitu juga dengan gelombang elektromagnetik dan radiasi radon.
Soal ranjang atau tempat tidurnya sendiri memang yang terbaik dari kayu, sebab kayu tidak bersifat sebagai konduktor, tidak mengalirkan gelombang elektromagnetik.
Jika berobat, bawa denah rumah
Cara menangkal dengan garam, jeruk sitrun, dan lainnya itu mirip ubo rampe sesajen, hingga nampak berbau mistik atau klenik.
Namun menurut Jatno, cara yang dianjurkan oleh International Society of Biopathogen, dan nasihat yang katanya juga sering diberikan oleh orang-orang “pintar” di Jawa dan Bali itu rasional, meski belum jelas benar cara kerjanya.
Jatno mencoba menjelaskan hal itu. “Garam itu misalnya, kalau terurai akan menjadi Na dan Cl. Nah, air atau H2O dan garam itu ‘kan saling meniadakan. Na dengan OH dan Cl dengan H,” jelasnya.
Sedangkan kertas koran bermanfaat untuk mengisap radiasi radon dan ion-ion lain.
Yang perlu diingat, setiap tanda kesemutan dan sebagainya itu, kata Jatno, jangan serta merta dihubungkan dengan masalah geopati.
“Kita tetap harus berpikir rasional tentan apa yang sudah dicapai ilmu kedokteran. Siapa tahu gejala kesemutan itu karena diabetes.”
Dokter ahli penyakit jantung yang kria-kira sejak tahun 1986 secara intens mendalami masalah medan geopati ini bilang, cara-cara penanggulangan tadi bukan terapi standar (standar therapy) mengingat dunia kedokteran belum menerima hal ini.
Jadi, setiap pasien yang datang ke dokter seperti dirinya, tetap harus didiagnosis dan diobati menurut standar profesi kedokteran.
“Namun bila dengan segala cara tidak berhasil, pelan-pelanlah diterangkan akan kemungkinan pengaruh medan geopatogen.”
Begitu pun Romo Lukman yang empat hari seminggu (Senin, Selasa, Jumat, dan Minggu) buka praktik penyembuhan antara lain melalui “terapi” semacam ini sejak 1974, dan terakhir sekarang berpraktik di Jl. KHA. Dahlan no. 62A, Purworejo (Jateng).
“Biasanya mereka datang ke sini, sesudah pengobatan secara medis menemui jalan buntu,” tutur Romo Lukman yang tidak mau disebut sebagai paranormal karena praktik pengobatannya itu.
Berhubungan dengan medan geopatogen ini, setiap pasien yang datang berobat ke pastor berdarah Belanda itu diminta membawa denah rumah.
Maksudnya untuk deteksi awal kalau-kalau penyakit atau keluhannya ada sangkutannya dengan medan geopatogen di sekitar rumah pasien.
Bahkan, bak seorang dokter, Romo Lukman memeriksa dengan cermat data-data laboratorium, kalau ada foto rontgen si pasien, terutama pasien baru.
Dibantu dua orang asisten dan seorang sekretaris, setiap harinya ia sangguh melayani sekitar 70 – 80 pasien, yang datang dari segenap pelosok tanah air.
Pengobatan “alternatif” seperti a.l. dilakukan dr. Jatno dan Romo Lukman memang masih belum berterima, terutama di kalangan tertentu.
Lajunya roda perkembangan dunia kedokteran diakui akhir-akhir ini memang melesat dengan pesat.
Dunia kedokteran semata terpecah-pecah menjadi berbagai cabang ilmu pada tingkat organ, dan mungkin lama-kelamaan akan berkembang sampai ke tingkat sel, genetika, dan seterusnya.
Kendati kemajuan sudah sampai pada tingkat canggih, di mana tiap sentimeter bagian tubuh dapat diketahui bentuk anatominya, tak jarang para ahli medis dihadapkan pada kenyataan penyakit yang begitu rumit didiagnosis atau pengobatannya.
Bahkan sering di era serba komputer ini masih ditemukan kematian-kematian yang belum dapat ditentukan penyebabnya.
Siapa tahu salah satu pengobatan dengan pendekatan lain semacam ini bisa menjadi alternatif, meskipun sekarang masih serba berselimut kabut misteri.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Februari 1992)
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR