Awalnya aku tidak merasakan apa-apa, tapi lama-kelamaan tanganku merasa ada yang hangat.
Ternyata itu darah yang keluar dari perutnya. Aku mengambil roti itu ketika ia menjerit sejadi-jadinya karena kesakitan. Aku mulai memakannya. Awalnya baik-baik saja, tapi kemudian aku muntah.
Aku terbayang dengan apa yang baru saja aku lakukan. “Maafkan aku, Camile. Maafkan aku, Tuhan,”pikiranku bergemuruh.
Belakangan, aku mendengar beberapa bocah lain di lingkungan itu berbicara tentang seorang bocah yang ditemukan tewas di sebuah gang.
Orang-orang mungkin menuduhku, tapi aku hidup dengan cara begitu. Satu-satunya alasan aku dapat memaafkan diriku sendiri adalah bahwa aku tahu aku tidak pernah bermaksud membunuh bocah itu; aku hanya ingin makananku kembali.
Setiap hari di jalanan adalah pertempuran untuk bertahan hidup.
Aku tidak tahu berapa jam atau hari aku tinggal di bawah tangga tempat aku dan Camile dulu tidur. Akhirnya, ibuku menemukanku. Aku lalu menceritakan semuanya, dan ia bilang: “Christiana, berjanjilan padaku. Berjanjilan bahwa apa pun yang terjadi dalam hidup, jangan pernah berhenti untuk melangkah!”
Waktu itu, Mamae punya bayi baru. Patriuque, namanya. Aku akan membawanya ke mana pun dengan kotak kardus yang sedikit lebih besar dibanding kotak sepatu, menggunakan lap untuk popok, dan surat kabar bekas untuk selimut. Aku mencintainya dengan sepenuh hati.
Ketika aku berusia 7 tahun dan Patrique 10 bulan, Mamae menitipkan kami di panti asuhan. Ia mengunjungi kami setiap minggu sampai, karena alasan tertentu, panti asuhan menolaknya.
Suatu hari, adakeributan kecil di depan panti asuhan. Mamae berteriak agar ia bisa bertemu denganku. Tapi petugas panti menolaknya. Aku yang tahu langsung berangsur ke depan untuk meraih tangan Mamae. Tapi upaya kami gagal.
Aku pun terpisah dengan Mamae.
Lalu pada Juni 1991, kami diadopsi. Umurku saat itu 8 tahun sementara Patrique hampir 2 tahun.
Dari 200 anak yang ada di sana, kami yang dipilih oleh pasangan kelas menengah Swedia, usianya pertengahan 40-an tahun, dan tidak punya anak. Meski kehidupan di panti tidak kalah brutal, tapi aku tetap takut ketika pertama kali masuk ke taksi bersama orangtua baru kami itu.
Kehidupan kami di Vindeln, Swedia, adalah kebalikan dari Sao Paolo. Hampir tidak ada kertas berserakan di jalanan, apalagi tumpukan sampah. Ada festival pertengahan musim, dan orang-orang menari-nari di sana denga gembira.
Meskipun di Swedia tampak indah, aku mengalami gegar budaya, culture shock kata orang antropologi.
Oleh orangtua baruku, Lilian-aan dan Sture Ricardsson, namaku diubah menjadi Christina. Mereka adalah seorang guru dan pedagang kayu. Aku belajar bahasa Swedia, bahkan sudah lupa bahasa Portugis hanya dalam hitungan bulan. Aku memanggil mereka ibu dan ayah sejak pertama kali.
Setelah bertahun-tahun berjuang bertahan hidup dan melawan kelaparan dan pelecehan, akhirnya aku punya harapan untuk masa depan.
Bertahun-tahun kemudian, untuk pertama kalinya aku terbang kembali ke Brasil. Setelah mencari ke sana ke mari, termasuk meminta bantuan panti asuhan tempat aku tinggal dulu, akhirnya aku menemukan ibu.
Mamae waktu itu sudah berusia 67 tahun dan telah menderita skizofrenia sepanjang hidupnya. Setidaknya selama 15 tahun ia mencariku dan Patrique, tapi tak seorang pun di panti asuhan yang memberi tahu keberadaan kami.
Oh iya, Patrique yang saat ini bekerja sebagai tukang las, langsung menyusulku menggunakan pesawat. Kami tidak memiliki apa-apa selain kekaguman terhadapa keberanian ibu. Sejak itu, kami rutin terbang ke Brasil untuk menengok perkembangan Mamae.
Tak lupa, aku juga mengunjungi gua dekat Diamantina, tempat tinggalku dulu bersama Mamae.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR