Aku berniat kembali untuk membantunya ketika mendengar Camile menangis. Tapi ia justru menyuruhku berlari.
“Lari!” teriaknya, dan aku pun menuruti sarannya.
Setelag yakin tidak lagi diikuti, aku kembali ke tempat kejadian. Mengintip dari belakangan bangunan lain, dan melihat Camile dikelilingi lima orang itu.
Saat aku mencoba mencari cara untuk menolongnya, sesuatu yang aneh terjadi padanya.
Sebuah peluru menembus dahinya, tubuhnya terjatuh ke tanah dengan cara yang paling aneh. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menutupi jeritan.
Aku berbalik dan berlari secepat yang aku mampu. Aku kehilangan teman baik, saudara perempuan, malam itu. Aku juga paham, betapa tidak berartinya hidup kami.
Di tengah kondisi yang kalut itu, aku sadar bahwa aku belum makan seharian. Aku kemudian mengais-ngais sampah dan menemukan sepotong roti tawar setengah matang dengan kacang goreng di dalamnya.
Ketika hendak memakannya, tiba-tiba ada suara yang memanggil.
“Berikan makanan itu padaku,” ia menuntut.
“Ini milikku. Aku yang menemukannya,” balasku. Ia memukul wajahku, dan kami saling berebut roti sisa itu. Kami bergulat hingga mendengar ada sesuatu yang berdenting, pecah. Ternyata sebuah botol kaca.
Aku lalu meraih pec ahan itu. Aku marah, sedih, tapi yang paling utama, aku merasa diperlakukan sangat tidak adil.
Saat bocah itu mengambil roti dan berjalan pergi, aku menjerit dan berlari ke arahnya dengan sekuat tenaga. Ia berbalik, dan tanpa pikir panjang, aku menusukkan potongan kaca itu ke perutnya sekesar yang aku bisa.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR