Karena miskin, kami sering memakan burung-burung yang kami ketapel. Secara teratur kami akan pergi ke Diamantina untuk menjual daun dan bunga kering dan membeli beras. Kami melewati jalan berbatu yang panjang.
“Bisakah kita berhenti?” begitu aku akan memohon kepada ibu saat kakiku mulai berdarah karena tidak beralas. Tapi Mamae akan meneruskan perjalanan, menceritakan kisah-kisah tentang Tuhan, Yesus, dan semua orang-orang suci.
Kami nyaris kelaparan, tetapi aku sering melihat tahun-tahun itu sebagai tahun-tahun terbaikku.
Mamae selalu punya waktu untukku, dan aku mendapatkan semua cintanya. Kami berbincang selama berjam-jam, menikmati keindahan padang belantara, sementara kaki kami menjuntai di mulut gua.
Aku mendapatkan kepercayaan dari berburu dan mengais-ngais. Salah satu kebanggaan terbesarku adalah ketika bisa menangkap burung untuk pertama kalinya, yang kemudian kami panggang di atas lubang api yang kecil.
Itu membuatku bisa makan enak—bersanding dengan buah-buahan dan kacang-kacangan.
“Anda siap berburu jaguar sekarang, Christina?” canda Mamae, menyebut nama Brasilku.
Kemudian, suatu malam ketika aku berusia sekitar lima tahun, kami diusir dari rumah kami oleh sekelompok pria dengan anjing. mungkin mereka adalah pemilik tanah.
Yang jelas, mereka tidak menganggap kami, tapi Mamae sudah tahu bahwa sudah waktunya bagi kami untuk melanjutkan perjalanan.
Kami pergi ke Sao Paolo. Karena kami miskin dan ibuku masih berjuang mendapatkan pekerjaan, kami akhirnya mendarat di favelas, sebuah daerah kumuh di Brasil.
Di sana, kami meminta-minta makanan dan uang. Ada beberapa orang baik hati di sana. Ada pula yang meludahi dan menendang kami. Ada yang menyebut kami “kecoak” dan “tikus jalanan”.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR