Dengan cermin kami memberi tanda SCS. Kami memberi tanda dengan bendera. Namun kapal itu terus saja tanpa mengurangi kecepatan. Hari itu juga kami menemui kapal muatan. Kapal inipun cepat menghilang.
Mereka tidak menghiraukan kami, seperti kami tidak ada. Ternyata lebih sulit untuk menemukan kebebasan daripada yang saya pikirkan sebelumnya. Banyak orang Vietnam mengira bahwa mereka akan dibawa ke negara bebas oleh kapal segera mereka sampai ke laut bebas. Ternyata ini harapan kosong.
Kapal bocor
8 Juli: Laut tenang, cuaca baik. Hari itu hari baik. Saya senang kalau melihat ikan bruinvis yang meloncat keluar dari air dan ikut barpacu dengan kapal kami.
9 Juli: Laut masih tetap tenang. Hari yang indah. Kami tidak bertemu dengan suatu kapal pun juga. Kehidupan di kapal berjalan normal. Tien sakit dan tidur terus, siang malam di ranjangnya dari kelapa. Giao menimba air dengan kaleng. Trai dan saya bergantian mendayung.
10 Juli: Kami menuju ke arah barat daya. Kami mengumpulkan air minum dengan cara mengepel bagian atas kapal dengan handuk lalu diperas ke dalam panci. Dengan cara itu kami mengumpulkan 10 liter air hari itu.
Baca juga: 16 Pengungsi Muslim Rohingya akan Bertemu Paus Fransiskus di Bangladesh, Ini Keinginan Mereka
11 Juli: Pukul dua malam saya melihat sinar di kejauhan. Ternyata kapal nelayan dari Hongkong yang sedang berlabuh. Kami lewat di sebelahnya. Karena teriakan kami para awak Keluar dengan pakaian tidur.
Mereka memperlihatkan peta dan memberitahu di mana kami berada: sekitar 8 jam berlayar ke Poulu Laut atau seminggu ke Singapura. Kami diberi makanan ditambah empat bungkus rokok dan 40 liter bahan bakar.
Pukul sebelas kami sampai ke Poulu Laut. Setelah delapan hari di laut, ini daratan pertama yang kami lihat. Kami berusaha untuk mendarat tetapi di mana-mana ada batu karang di bawah permukaan air. Kami harus berlabuh 1 km dari pantai. Saya mengambil keputusan untuk terus ke Singapura.
12 Juli: Sehari suntuk hari hujan. Laut berombak keras.
13 Juli: Hujan tetap turun. Malam itu kami mabuk dan Trai terlalu lelah untuk memegang kemudi. Giao terlalu lelah untuk terus mengeluarkan air dari kapal. Tien tidur terus di atas ranjang kelapa. Kami kehilangan kekuatan.
Baca juga: 16 Pengungsi Muslim Rohingya akan Bertemu Paus Fransiskus di Bangladesh, Ini Keinginan Mereka
14 Juli: Pada sore itu ternyata kapal kami tambah lama tambah banyak airnya. Motor beberapa kali mati. Dasar kapal ternyata bocor. Saya mengambil .keputusan untuk kembali dan sekali lagi ke Poulo Laut.
Saya mengikat dayung sehingga kami berempat bisa mengeluarkan air. Kami telah kehilangan semangat. Setiap waktu bisa tenggelam. Kami bertemu dengan beberapa kapal tetapi kami sudah tahu bahwa mereka tidak memperdulikan kami.
15 Juli: Malam itu secara tiba-tiba perjalanan kami terhenti. Di depan sebuah pulau kecil kapal kami tenggelam. Namun kami masih berhasil untuk sampai ke darat dengan selamat. Dalam keadaan luar biasa lelah.
Kami mencapai pulau Semiun. Setelah 12 hari berjuang untuk hidup kami bebas. Kami telah mencapai negara yang bebas untuk pertama kali. (Nguyen Hong Phuc – Bijeen – Intisari Juli 1979)
Baca juga: Miss World Australia yang Beragama Islam dan Mantan Pengungsi Ini Punya Pesan Khusus untuk Negaranya
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR