Jika terjadi demo di titik-titik lokasi tertentu, beberapa area menjadi lebih lengang. Pada momen 13 Januari 2014 yang dikenal dengan “Bangkok Shutdown”, jalanan yang biasanya macet berubah sepi layaknya Car Free Day.
Pada hari itu, seorang kawan berhasil membuat rekor perjalanan dari pusat kota ke Bandara Swarnabhumi kurang dari 30 menit. Artinya, sepertiga dari waktu tempuh normal.
Kalau perempatan Asok digunakan untuk aksi, saya masih memiliki alternatif rute berkendaraan. Jika demonya berskala kecil, masih tersisa ruang sehingga kendaraan tetap bisa lewat. Tapi kalau terhalang perkemahan massa atau panggung raksasa, masih ada Bangkok Sky Train, MRT, ojek, atau jalur sungai.
Pemerintah juga memperhatikan kepentingan para pengguna sarana transportasi. Misalnya menyediakan hotline pengaduan untuk tukang ojek nakal agar tidak menaikkan ongkos gila-gilaan.
Tourism Authority of Thailand (TAT) aktif menyebarkan informasi seperti rute dan jadwal demo, membuat loket help center di bandara dan stasiun. Bahkan ada ganti rugi AS$100 per hari bagi turis yang gagal meninggalkan Thailand gara-gara terhambat aksi protes ini.
Baca juga: Menurut Survei, Mayoritas Masyarakat Inginkan Demokrasi Pancasila Jadi Perekat Bangsa
Para pemrotes sendiri selalu memberikan informasi jadwal dan rute yang jelas menjelang aksi, sehingga warga dapat menghindarinya. Informasi dalam bahasa Inggris itu juga disebar lewat media sosial. Tapi kalau memang diperlukan, para pemrotes bersedia membuka jalur khusus agar ambulans atau bus turis dapat aman melewati area yang diblokade.
Khao San Road, tujuan utama kebanyakan turis asing, kebetulan bukan merupakan kawasan demo. Karena itu jarang sekali keluhan dari turis walau unjuk rasa berlangsung berbulan-bulan. Aksi-aksi raksasa sangat bisa dihindari, kecuali kalau kita sengaja mendatanginya.
Mbak-mbak kantoran ikutan
Berbagai media menyebut, demo tahun ini sangat santun. Berbeda dengan demo serupa 2010 lalu. Barangkali karena berbeda dalang dan pelaku. Grup kaus kuning yang mendominasi PDRC adalah masyarakat intelek dan mapan, kebanyakan dari Bangkok.
Mereka cenderung teratur dan tak mudah terseret tindakan anarkistis. Mereka cuma bersenjatakan peluit, karena mengklaim diri sebagai whistleblower.
Menu acara demo biasanya mendengar orasi atau menonton pergelaran hiburan di atas panggung. Di sela-sela orasi, ribuan pemrotes kemudian serempak meniup peluit atau bersorak. Tak heran bila hotel-hotel di dekat lokasi protes kini menyediakan penutup telinga agar tidak terganggu suara peluit atau musik dari panggung.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR