Padahal, Bekti melanjutkan, sungai di Jakarta pun penuh dengan polutan. Misalnya, Sungai Ciliwung mengandung bakteri e-colinya sebanyak 35 juta per 100 cc, padahal baku mutunya hanya 3000 miligram per liter.
"Mungkin nggak seheboh ini kalau saya ujicoba di depan kantor, saya ambil dari Ciliwung kemudian kita olah, mungkin orang akan menganggapnya biasa saja alat ini," kata dia.
Menanggapi polemik itu, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengatakan air hasil olahan tinja itu masih harus diuji jika ingin digunakan untuk keperluan sehari-hari, apalagi bila digunakan berwudhu.
Pengujian itu harus mencakup dua aspek, yakni kebersihan dan kehalalan.
Menurut Amirsyah, alat pengujian itu pun harus dengan teknologi yang memenuhi standar halal dan terjamin kualitas kebersihannya dari bakteri serta virus.
Namun ternyata, pengolahan limbah tinja tidak sampai di situ saja. Subekti menuturkan saat ini pihaknya tengah melakukan riset untuk mengembangkan zat padat dari olahan limbah tinja untuk digunakan sebagai energi alternatif.
"Nah ini yang kita coba riset untuk jadikan briket. Ternayata briket ini cukup prospektif. Karena riset kami nilai kalorinya 3.000-4.500 kilo kalori, itu sepadan dengan batubara muda," kata dia.
Dia mengilustrasikan, 1 kg dari hasil limbah tinja bisa untuk membakar selama 2 jam secara terus menerus.
Selain itu, gasifikasi dari hasil olahan limba tinja ini juga mampu menghasilkan listrik.
"Kita uji coba dengan gasifikasi, 12 kg itu bisa menyalakan 5000 watt selama 20 menit," imbuh Subekti.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Layakkah Air Olahan Limbah Tinja Dipakai untuk Minum dan Wudu?".
Baca juga: (Foto) Inilah 10 Foto yang Berhasil Diambil Tepat Sebelum Tragedi Mematikan Terjadi
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR