Alasan yang menerima hasil rukyat adalah bahwa laporan tersebut sesuai dengan hasil perhitungan menurut tabel Ulugh Beyk, sementara yang menolak beralasan bahwa laporan itu tidak sesuai dengan hasil perhitungan kontemporer dan ilmu pengetahuan modern.
Baca juga: Ingin Bersihkan Rumah Sebelum Lebaran? Yuk Intip 7 Cara Mudahnya
Yang menolak tidak saja terdiri atas ahli perhitungan, namun juga terdapat dari kalangan yang berpegang kepada rukyat, yaitu yang tidak mempercayai kebenaran laporan tersebut. Demikian pula yang menerima, tidak saja terdiri atas ahli rukyat, namun juga ada kelompok yang dapat dikategorikan sebagai ahli perhitungan. Jadi masalahnya semakin kompleks.
Dalam rangka menjaga kesatuan dan kemantapan ibadah, Departemen Agama nampaknya sejak dahulu telah berusaha menyatukan sistem-sistem yang berbeda.
Pada tahun 1972, Menteri Agama Prof. Dr. .H. Mukti Ali membentuk Badan Hisab Rukyat yang para anggotanya terdiri atas unsur pejabat Departemen Agama, MUI, Ormas Islam, Badan Meteorologi & Geofisika, Planetarium Jakarta, ITB, IAIN, instansi terkait, dan perorangan yang ahli.
Tugas badan ini adalah untuk memberi saran kepada Menteri Agama dalam penentuan awal bulan Islam. Sampai sekarang badan ini masih aktif bekerja dan dalam prakteknya berfungsi sebagai forum komunikasi dalam rangka penyatuan penetapan waktu-waktu ibadah.
Lebih jauh dari itu, sejak tahun 1989, telah dirintis adanya penyerasian rukyat dan takwim Islam di antara negara Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kegiatan ini telah berjalan dengan melakukan rukyat bersama, tukar-menukar data perhitungan dan hasil rukyat.
Baca juga: Berniat Dekorasi Rumah untuk Lebaran Nanti? 6 Ide Ini Layak Ditiru
Proses penetapan
Dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan, Departemen Agama menghimpun data perhitungan, baik dari para ahli di dalam negeri maupun hasil kesepakatan intemasional. Data tersebut dibahas oleh Badan Hisab Rukyat jauh sebelum tibanya bulan Ramadhan, untuk dijadikan dasar pedoman pelaksanaan rukyat.
Pelaksanaan rukyatnya itu sendiri dilakukan oleh masyarakat dan petugas 305 Pengddilan Agama yang tersebar di seluruh Indonesia (yang ada di setiap kabupaten dan beberapa kecamatan).
Tempatnya antara lain di Pelabuhan Ratu (Sukabumi), Cakung, Ancol, Cengkareng, Masjid Agung Klender (Jakarta), Tanjung Kodok (Gresik), Parepare, Ternate, dan Iain-lain. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam tanggal 29 bulan Sya’ban untuk menentukan awal Ramadhan, dan pada tanggal 29 Ramadhan untuk menentukan awal Syawal.
Para petugas dan masyarakat melakukan rukyat hilal pada tempat yang berbeda-beda. Ada yang di pantai, bukit, gunung atau hanya di sawah dan dataran rendah yang ufuk baratnya terbuka, sehingga mereka dapat jelas melihat ke arah matahari terbenam dan posisi bulan.
Petugas Departemen Agama Pusat bersama petugas Pengadilan Agama yang berdekatan dan masyarakat sekitar Sukabumi melaksanakan rukyat hilal di Pos Observasi Bulan Pelabuan Ratu, yaitu pos pengamatan bulan yang ada di daerah pantai, di puncak sebuah bukit berketinggian 50 m di atas permukaan laut.
Baca juga: Sebelum Mudik Lebaran, Simak Dulu 10 Poin Berkendara Aman dari Suzuki Ini
Dari pos ini, horizon yang berupa batas permukaan laut sebelah barat dapat dengan jelas terlihat oleh siapa pun yang memandangnya.
Jika ada yang melihat bulan, mereka melapor di lokasi itu juga kepada hakim Pengadilan Agama. Hakim memeriksanya, baik mengenai identitas pelapor maupun mengenai waktu dan keadaan bulan yang dilihat pelapor.
Jika hakim merasa yakin, ia menerima laporan tersebut dengan terlebih dahulu mengangkat sumpah pelapor. Jika ia ragu, ia dapat menolak laporan tersebut. Hasil pemeriksaan dilaporkan ke Departemen Agama Pusat melalui interlokal saat itu juga untuk dibahas oleh Sidang Penetapan Awal atau Akhir Ramadhan yang dipimpin oleh Menteri.
Yang hadir pada sidang ini selain para pejabat Departemen Agama, juga anggota Badan Hisab Rukyat.
Keputusan didasarkan kepada musyawarah mufakat. Jika tidak dapat dicapai mufakat bulat, keputusan diambil berdasarkan pendapat-pendapat yang dianggap logis dan berusaha menghindari adanya pertentangan yang tajam.
Baca juga: Waspada Saat Tukar Uang Baru Jelang Lebaran, Jangan Sampai Dapat yang Palsu! Ini Ciri-cirinya
Kasus perbedaan Lebaran 1992 dan 1993 antara lain disebabkan adanya laporan rukyat yang tidak diterima oleh hakim Pengadilan Agama. Dengan demikian, sidang pun menolak kesaksian pelapor yang dianggap meragukan tersebut.
Rasanya, kemajuan iptek dewasa ini sudah tidak ada yang meragukan lagi. Karena itu tak usah bimbang untuk memanfaatkannya dalam membantu pelaksanaan rukyat, sehingga laporan rukyat hilal dapat dibuktikan dengan foto bulan yang terlihat itu sendiri dan dapat disaksikan oleh banyak orang sebagaimana peristiwa gerhana matahari total 11 Juni 1983 yang lalu.
Oleh karena itu, gagasan ICMI orsat Pasar Jumat, Jakarta, untuk membuat suatu teropong infra merah pantas mendapat dukungan positif dari semua pihak. Dengan demikian, semoga perbedaan Lebaran itu tidak dialami lagi oleh anak-cucu kita. (Intisari Februari 1994)
Baca juga: Lebaran Ini, Habiskanlah Lebih Banyak Waktu Bersama Orangtua, Agar Usia Mereka Kian Panjang
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR