Intisari-Online.com - Boleh dibilang, tidak ada orang di Jakarta yang tidak tahu keberadaan warung tegal (warteg) atau warung pecel lele. Kedua jenis dagangan makanan kaki lima ini bisa ditemui di hampir setiap sudut jalan. Ada sedikit “lahan tidur”, mereka akan langsung bercokol di sana.
Kabarnya, di Jabodetabek sendiri saat ini terdapat lebih dari 34 ribu warteg (data tahun 2013), 20 ribu warteg di antaranya ada di Kota Jakarta. Pada umumnya pengusaha ini bergabung dalam Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) yang sekaligus menaungi kepentingan mereka bersama.
Seolah tak mau kalah bersaing, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, juga banyak mengirimkan pengusaha makanan pinggir jalannya. Sayang, tak ada data pasti soal jumlahnya. Hanya saja mereka gampang dikenali dari dagangannya yang khas: pecel lele, pecel ayam, nasi bebek, atau soto ayam. Dibandingkan dengan warteg, warung pecel lele jarang yang permanen. Kadang cukup bermodal gerobak dan meja untuk tempat makan.
Baca juga: Pical, Pecel Minang dengan Jantung Pisang
Salah satu yang menarik dari keberadaan pedagang makanan untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah ini, jumlah mereka ternyata terus berkembang. Bahkan sukses bertahan melewati beberapa kali krisis ekonomi. Ada baiknya kita belajar pengkaderan dari warung tegal dan warung pecel lele.
Kuncinya kekeluargaan
Baik warteg maupun warung pecel lele, umumnya adalah bisnis keluarga. Andai tidak satu kerabat sekali pun, umumnya mereka berasal dari kampung yang sama atau berdekatan. Pengusaha warteg sendiri mayoritas berasal dari Desa Krandon, Sidapurna, dan Sidakaton, di wilayah Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Kedekatan itulah yang kemudian melahirkan semacam peraturan tak tertulis dalam bisnis warteg: mereka tidak boleh sukses sendirian. Kesuksesan mereka harus ditularkan juga kepada seluruh keluarga dan kerabat. “Yang penting keluarga ikut sukses, nanti kalau sudah berhasil, baru dibiarkan jalan sendiri,” ungkap Tarisah, pengusaha warteg di Jakarta Barat yang 20 tahun melakoni usaha ini.
Anak-anak muda kader pengelola warteg ini digembleng mulai dari nol, berawal dari posisi pelayan dengan segala pekerjaan yang diembannya. Transfer ilmu dari pemilik usaha terjadi sambil menjalankan operasional sehari-hari. Tanpa banyak teori, pelayan akan langsung praktik dengan bekerja. Ini juga berlaku di warung pecel lele.
Untuk jumlah pekerja, antara warteg dan warung pecel lele ada perbedaan. Wiwit, 27 tahun, seorang pedagang pecel lele di Jakarta Barat, mengungkapkan, paling tepat dalam satu warung pecel lele ada satu bos dan dua anak buah. Berbeda dengan warteg yang membutuhkan tenaga lebih banyak, yaitu berkisar empat orang. Penyebabnya, karena jam operasional warteg relatif lebih lama.
Idealnya, keempat karyawan di warteg terdiri atas tiga perempuan dan satu laki-laki. Perempuan bertugas di wilayah dapur, melayani pesanan, sampai menjadi kasir. Sementara karyawan lelaki lebih banyak membantu untuk membeli keperluan sehari-sehari di pasar dan melayani pemesanan minuman.
Dalam warteg ada istilah tukar guling pelayan antarwarteg dalam satu keluarga. Pertukaran karyawan antarjaringan bisnis keluarga ini terjadi dalam kurun waktu tiga sampai empat bulan sekali. Tarisah misalnya, selalu memindahkan karyawannya ke warung-warung yang dimiliki oleh lima saudaranya yang lain. “Terus nanti muter lagi sampai balik ke sini,” terangnya.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR