Bertingkah seperti hewan
Si bocah mampu duduk tanpa bergerak selama berjam-jam dengan kaki menggantung. Seorang dokter menduga, ini akibat adanya distorsi pada sendi lutut dan tangan karena kebiasaan duduk dengan kaki tertekuk di depan sewaktu muda.
Ini juga yang menyebabkan ia selalu goyah setiap kali mencoba berjalan. Dokter yakin, bocah ini tidak gila atau bodoh, hanya tertinggal dalam pergaulan sosial. Anehnya, ia juga selalu memilih tempat yang gelap dan duduk di sudut seperti kucing.
Banyak orang berkerumun untuk melihat dia makan, tidur, buang air besar tanpa malu.
Dalam dirinya pancaindera seperti yang dimilild binatang justru berkembang dengan baik. Selain mempunyai pendengaran yang tajam, ia pun bisa melihat dalam gelap. Penciumannya mampu membedakan jenis pohon hanya dengan mencium daunnya.
Baca juga: Tanpa Nama dan Tak Bisa Ditemui, Gadis-gadis Cantik Ini Jadi Begitu Misterius
Namun, ia tak bisa membedakan sesuatu yang bernyawa dan tidak. Buktinya, ia takut berdiri dekat jam tembok yang diyakininya sebagai makhluk hidup. Bahkan ketika disodori cermin, ia buru-buru membalik kaca tersebut untuk mencari orang yang wajahnya tergambar di cermin tersebut.
Penguasa Nurenberg lalu menyerahkannya dalam pengawasan seorang pendidik, Prof. George Friedrich Daumer. Bagi Daumer, si anak merupakan contoh seseorang yang dipisahkan hubungan dengan manusia, meski tumbuh sempurna.
Walau berkesan seperti orang primitif, menurut Daumer, si bocah cukup berbakat dan sangat pandai. Memorinya kuat. Dia belajar membaca, menulis, berbicara, dan mempunyai banyak catatan.
Ketika seseorang memberikan secarik kertas dan pena. Hasilnya mengagetkan, dia menulis di kertas dengan tulisan anak-anak. Hanya tiga kata yang muncul, ‘Reiter’, ‘Cavalryman’, dan ‘Kaspar Hauser’.
Ini membuat ia dinamai Kaspar Hauser, dan meski pada mulanya ia menolak menanggapi, akhirnya ia dikenal sebagai Kaspar Hauser.
Baca juga: Menyibak Tabir Misteri Suku Yahudi yang Hilang di India
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR