Mengenang Gerakan 30 September 1965: Saksi Bisu dari Ruang Forensik

Moh Habib Asyhad

Editor

Mengenang Gerakan 30 September 1965: Saksi Bisu dari Ruang Forensik
Mengenang Gerakan 30 September 1965: Saksi Bisu dari Ruang Forensik

Intisari-Online.com -Oktober 1965 bisa disebut sebagai masa kelam bagi dunia pers Indonesia, juga buat seluruh masyarakat Indonesia. Media-media cetak kala itu, yang dipelopori media milik pemerintah militer ramai-ramai memuat kekejaman perisitwa penculikan enam jenderal yang kelak disebut sebagai Pahlawan Revolusi.

Harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha menulis dengan sedikit hiperbolik. Misalnya, Ahmad Yani dicungkil matanya, juga yang lebih sadis lagi, kemaluan para korban tersebut diiris-iris menggunakan silet, lalu dipermainkan oleh para pelaku yang kebanyakan perempuan.

Berita yang ditulis oleh dua corong militer tersebut berefek domino, koran-koran lain di luar dua koran itu, terutama yang memiliki sentimen besar terhadap komunisme Indonesia, turut mengutip berita-berita tersebut. Lantas menyebar ke masyarakat luas.

Imbasnya bisa dipastikan, kemarahan rakyat meluap dan membutuhkan pelampiasan-pelampiasan. Lalu muncul arus pembantaian terhadap massa partai komunis atau yang diduga komunis yang tak kalah ganasnya. Kabarnya, angka kematian akibat kemarahan ini mencapai angka 1,5 juta jiwa.

Lalu benarkah “pencukilan” itu benar adanya? Tim forensik secara bernas memang mengatakan para korban mendapat perlakuan cukup kejam di luar batas kemanusiaan. Tapi ada fakta lain yang mengejutkan, tidak ada pencukilan mata dan pemotongan penis para korban.

Dalam kondisi saat itu, tidak mudah bagi para para ahli forensik mengatakan hal yang sebenarnya. Seolah ada ketakutan, kalau menuliskan apa adanya, kemungkian mereka dicap sebagai PKI sangat besar. Oleh karena itu, visum et repertum melaporkan seperi apa yang dimuat di Berita Yudha dan Angkatan.

Tidak ada pencukilan mata

Cerita “pencungkilan” mata dan “pemotongan” penis sejatinya sudah terlebih dahulu terdengar di masyarakat sekitar. Tepatnya setelah para korban G30S ditemukan di dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur, 4 Okotober 1965. Tujuh mayat jenderal itu lantas dibawa ke RSPAD guna diotopsi.

Untuk menangani mayat-mayat tersebut, dibuatlah tim yang terdiri dari dua dokter RSPAD, yaitu dr Brigjen. Roebiono Kartopati dan dr. Kolonel. Frans Pattiasina; lalu ada tiga dari Ilmu Kedokteran Kehakiman UI, Prof. dr. Sutomi Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay. Mereka bekerja delapan jam dari sore 4 Okotber sampai 5 Okober 1945 dini hari di kamar mayat RSPAD.

Sesuai perintah, tim ini mengidentifikasi korban dan melakukan autopsi bagian luar jenazah. Dari identifikasi itu, tim berkesimpulan, para jenderal tersebut mendapat penyiksaan sebelum dibunuh dan dikubur dalam sumur tua di Lubang Buaya. Tapi, ada fakta baru, tidak ditemukan sama sekali bukti bahwa mereka dicungkil matanya dan dipotong penisnya.

Penemuan itu bukan berita baik tentunya bagi tim tersebut, justru membuat mereka tertekan. Sebelum mengeluarkan laporan, mereka terlebih dahulu melakukan pembicaraan khusus guna menentukan sikap, menulis yang benar atau melaporkan seperti yang berkembang di masyarakat. Lalu muncul ketakutan, jika menulis apa yang ada, mereka akan dicap pro-PKI. Dilematis memang.

Dikisahkan, setiap anggota tim mengemukakan pendapat, termasuk dr. Lim Joe Thay, yang saat itu termuda, berusia 39 tahun. “Kita dipertemukan Tuhan di sini, sehingga saya yakin Tuhan pasti mau yang terbaik. Kita juga disumpah sebagai dokter, jadi kita tulis saja apa adanya,” kata Lim seperti diceritakan kembali oleh dr. Djaja Surya Atmadja, dokter ahli forensik FKUI. Bagi Djaja, sikap bekas gurunya itu sangat mengesankan.

Kebanyakan tembakan dan tusukan

Pada visum memang tertulis kondisi biji mata beberapa korban terlihat kempis dan keluar. Tapi menurut Djaja hal itu disebabkan oleh pembusukan jenazah. Berbeda jika mata sengaja dicungkil, karena pasti akan terdapat luka, tusukan, atau tulang yang patah di sekitar mata. Kondisi kemaluan para korban juga tertulis semuanya utuh. Buktinya bisa diketahui ada empat penis dikhitan dan tiga penis yang tidak.

Bukti visum/Intisari

Visum menggambarkan para korban umumnya terkena tembakan senjata api, yang menghasilkan luka tembak masuk dan luka tembak keluar. Jenazah Achmad Yani luka tembaknya terbanyak, yakni 10 luka tembak masuk dan tiga luka tembak keluar. Luka tembak Soetojo Siswomihardjo, S. Parman, dan D.I. Panjaitan, umumnya terdapat di kepala.

Pada jenazah P. Tendean, terdapat penganiayaan berat yang menyebabkan luka menganga pada puncak kepala dan dahi. Kekerasan benda tumpul ditemukan pada jenazah Soetojo, S. Parman, dan R. Soeprapto. Hanya jenazah M.T. Haryono yang tidak terdapat luka tembak, melainkan luka tusuk di bagian perut tembus ke punggung, serta di bagian tangan. "Akibat ditusuk bayonet," kata Djaja menyimpulkan.

Djaja menyatakan, tidak perlu meragukan hasil kerja tim dokter yang mengautopsi korban G30S. Saat itu mereka orang-orang yang berkompeten dalam ilmu kedokteran kehakiman, yang kini istilahnya kedokteran forensik. Meski sudah terkubur empat hari, jenazah juga masih dapat diidentifikasi dengan baik. "Sudah puluhan tahun meninggal saja tetap bisa diidentifikasi kok," kata ahli DNA yang pernah mengidentifikasi kerangka tentara Jepang yang mati di Papua pada Perang Dunia II ini.

Mungkin pertanyaan yang timbul saat ini, kata Djaja: mengapa tidak dilakukan autopsi dalam lewat pembedahan? Jawabannya, karena perintah hanya sebatas itu. Dokter tidak berhak melanggar. Termasuk ketika Lim menemukan anak peluru sepanjang 4,7 mm. Benda itu diserahkannya kepada Soeharto. Sebenarnya jika ingin dilakukan proses pemeriksaan balistik, dapat diketahui asal senjatanya.

Luka kurban berdasarkan visum

Seperti apa hasil visum sebenarnya dari para korban perisriwa G30S? Simak paparannya berikut ini!

Achmad Yani

  • Luka Tembak masuk: 2 di dada kiri, 1 di dada kanan bawah, 1 di lengan kanan atas, 1 di garis pertengahan perut, 1 di perut bagian kiri bawah, 1 perut kanan bawah, 1 di paha kiri depan, 1 di punggung kiri, 1 di pinggul garis pertengahan.
  • Luka tembak keluar: 1 di dada kanan bawah, 1 di lengan kanan atas, 1 di punggung kiri sebelah dalam.
  • Kondisi lain: sebelah kanan bawah garis pertengahan perut ditemukan kancing dan peluru sepanjang 13 mm, pada punggung kanan iga kedelapan teraba anak peluru di bawah kulit.
R. Soeprapto

  • Luka tembak masuk: 1 di punggung pada ruas tulang punggung keempat, 3 di pinggul kanan (bokong), 1 di pinggang kiri belakang, 1 di pantat sebelah kanan, 1 di pinggang kiri belakang, 1 di pantat sebelah kanan, 1 di pertengahan paha kanan.
  • Luka tembak luar: 1 di pantat kanan, 1 di paha kanan belakang.
  • Luka tidak teratur: 1 di kepala kanan di atas telinga, 1 di pelipis kanan, 1 di dahi kiri, 1 di bawah cuping kiri.
  • Kondisi lain: tulang hidung patah, tulang pipi kiri lecet.
M.T Haryono

  • Luka tidak teratur: 1 tusukan di perut, 1 di punggung tangan kiri, 1 di pergelangan tangan kiri, 1 di punggung kiri (tembus dari depan).
Soetojo Siswomiharjo

  • Luka tembak masuk: 2 di tungkai kanan bawah, 1 di atas telinga kanan.
  • Luka tembak keluar: 2 di betis kanan, 1 di atas telinga kanan.
  • Luka tidak teratur: 1 di dahi kiri, 1 di pelipis kiri, 1 di tulang ubun-ubun kiri, di dahi kiri tengkorak remuk.
  • Penganiayaan benda tumpul: empat jari kanan.
S. Parman

  • Luka tembak masuk: 1 di dahi kanan, 1 di tepi lekuk mata kanan, 1 di kelopak atas mata kiri, 1 di pantat kiri, 1 paha kanan depan.
  • Luka tembak keluar: 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di perut kiri, 1 di paha kanan belakang.
  • Luka tidak teratur: 2 di belakang daun telinga kiri, 1 di kepala belakang, 1 di tungkai kiri bawah bagian luar, 1 di tulang kering kiri.
  • Kekerasan tumpul: tulang rahang atas dan bawah.
D.I Panjaitan

  • Luka tembak masuk: 1 di alis kanan, 1 di kepala atas kanan, 1 di kepala kanan belakang, 1 di kepala belakang kiri.
  • Luka tembak keluar: 1 di pangkal telinga kiri.
  • Kondisi lain: punggung tangan kiri terdapat luka iris.
P. Tendean

  • Luka tembak masuk: 1 di leher belakang sebelah kiri, 2 di punggung kanan, 1 di pinggul kanan.
  • Luka tembak keluar: 2 di dada kanan.
  • Luka tidak teratur: 1 di kepala kanan, 1 di tulang ubun-ubun kiri, 1 di puncak kepala.
  • Kondisi lain: lecet di dahi dan pangkal dua jari tangan kiri.

Membuat putri jenderal marah

Salah satu anggota tim forensik yang berusaha membeberkan apa yang sebenarnya terjadi pada para jenderal yang menjadi korban G30S adalah dr. Lim Joe Thay.

Lim tak pernah risau karena puluhan tahun tidak bisa mengungkapkan kebenaran. Ia masih bisa bercerita pada murid-muridnya di bangku kuliah kedokteran forensik. Terkadang ia prihatin, karena ada bagian keping sejarah yang salah dan tak pernah berusaha diluruskan, tapi terus beredar di masyarakat.

DrLim Joe Thay, salah satu anggota tim forensik/Intisari

Meski sudah beberapa media mencoba mengungkap kasus tersebut, tapi tidak ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk meluruskannya. Tapi, suatu saat Arsip Nasional RI pernah menghubunginya untuk meminta konfirmasi terkait apa yang dia dapat di bangsal forensik malam itu.

Lim termasuk yang paling keras soal laporan ini. Ia menuliskan apa yang didapat meski “tak berguna” karena tekanan rezim. Laporannya baru benar-benar terpakai saat seorang Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, saat menulis “How Did the Generals Die?” yang ia muat di jurnal Indonesia pada 1987.

Akibat kegigihannya itu, Lim juga pernah ditelepon oleh salah satu putri korban. Lim dimarah-marahi karena dianggap berusaha menghilangkan kenyataan telah terjadi penyiksaan terhadap para jenderal. Lalu munculnya quote sakti itu dari dr. Lim, “Meluruskan fakta sejarah tidak akan mengurangi derajat kepahlawan para Pahlawan Revolusi.”

Belakangan, Lim baru mengetahu kenapa putri jenderal itu marah, karena si putri membaca sebuah artikel majalah yang keliru mengutip kalimat Lim. Akibatnya, Lim kena semprot.(Tjahjo Widyasmoro/Intisari)