Sama seperti ibunya, masuk ke dunia politik di usia yang masih sangat muda semula bukanlah pilihan hidup Bilawal yang mahasiswa Oxford University ini. Tapi kematian ibunya mengubah pandangannya.
"Demokrasi adalah balas dendam terbaik," katanya menirukan ibunya. Tak ada yang bisa memastikan apakah Bilawal akan menjadi Bhutto kelima yang mengalami nasib tragis seperti ibunya.
Pengkhianatan dan balas dendam
Keluarga Bhutto bukan satu-satunya dinasti yang mengalami pembunuhan turun-temurun. Masih di Asia Selatan, tepatnya di India, nasib serupa juga menimpa keluarga Nehru - Gandhi.
Keluarga ini merupakan dinasti politik yang sangat berpengaruh di India hingga kini. Adalah duet Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi yang memulainya, ketika India melepaskan diri dan penjajahan Inggris.
Nehru meninggal secara "biasa" akibat serangan jantung pada 27 Mei 1964. Yang justru nasibnya nahas adalah Gandhi. Penganjur ajaran ahimsa (aksi nirkekerasan) ini wafat lewat cara kekerasan. Ia ditembak oleh Nathuram Godse, seorang penentangnya, pada 30 Januari 1948.
Baca juga: Sebagai Pejuang Kemerdekaan, Ini yang Dilakukan Mahatma Gandhi untuk Menjaga Kesehatan Tubuhnya
Godse membunuh Gandhi karena ia menganggap pemimpin spiritual India itu bertanggung jawab atas konflik Hindu - Islam yang berakhir dengan lepasnya Pakistan dari India.
Ved Mehta, di dalam bukunya Mahatma Gandhi and His Apostles, menceritakan detik-detik penembakan itu: Saat itu Gandhi sedang berjalan menuju lima ratusan massa yang berkumpul untuk mengikuti pertemuan sekaligus memanjatkan doa bersama.
Begitu Gandhi menghampiri mereka, orang-orang itu segera berkerumun di sekelilingnya berebut berkah dan menyentuh kakinya. Ketika ia berada beberapa meter dari panggung tempat duduknya, seorang laki-laki berwajah berewok menyeruak ke depan Gandhi lalu melakukan sembah.
Namun, di luar dugaan, setelah melakukan sembah, lelaki itu melepaskan tembakan beruntun dari pistol yang ia sembunyikan di balik bajunya. Gandhi seketika tersungkur ke tanah dan tak lama kemudian meninggal.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR