50 Tahun Gerakan 30 September 1965: Dari Panti Jompo Berharap Perempuan Indonesia Tetap Berjuang

Moh Habib Asyhad

Editor

50 Tahun Gerakan 30 September 1965: Dari Panti Jompo Berharap Perempuan Indonesia Tetap Berjuang
50 Tahun Gerakan 30 September 1965: Dari Panti Jompo Berharap Perempuan Indonesia Tetap Berjuang

Intisari-Online.com -Terlepas dari stigma negatif masyarakat mengenai organisasi yang dia ikuti, Lestari (83) adalah sosok yang bersemangat memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia juga begitu getol memperjuangkan nasib buruh dan petani yang memang menjadi fokus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Sampai menjelang kematiannya, Lestari, tetap berharap perempuan Indonesia tetap berjuang.

Salah satu konsentrasi perjuangan Lestari adalah soal poligami. “Dibelikan kalung saja sudah senang. Satu hal yang harus disadari oleh kaum ibu, meski cantik, jika ada kesempatan, bukan tidak mungkin suaminya ingin beristri lagi,” ujar perempuan yang ayahnya berpoligami itu, terkekeh.

Setali tiga uang dengan Lestari, Sri Sulistiawati (74), bahkan masih kerap wara-wiri mengikuti berbagai aktivitas yang berkaitan dengan isu-isu kemanusiaan, baik sebagai pembicara maupun sebagai undangan. Dengan kaki yang sudah tidak kokoh lagi akibat siksaan di penjara, Sri termasuk yang paling mobil di antara para penghuni panti.

Meski paling muda, dengan jaringan kerja yang dimilikinya, Sri sering “dituakan” atau dimintai pertimbangan ketika ada kunjungan-kunjungan. Selain berharap perempuan Indonesia tetap berjuang, dari penuturannya, eks penghuni penjara perempuan Bukit Duri, Jakarta, itu kerap diundang Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) atau mengikuti kegiatan Kamisan di depan istana presiden saban Kamis sore yang digagas oleh Suciwati, istri mendiang Munir.

Lestari dan Sir adalah dua di antara belasan penghuni Panto Jompo Waluyo Sejati Abadi yang terletak di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat. Meski sekarang tampak keriput dan tidak selincah dulu para penghuni di panti jompo itu dulunya adalah orang-orang penting di lembaga yang mereka ikuti. Lestari—meninggal pada Desember 2014—misalnya. Perempuan asli Bojonegoro ini adalah salah satu anggota Gerwani Jawa Timur yang menonjol. Lantaran prestasinya, ia sempat menjabat sebagai salah satu pimpinan organisasi yang sangat anti-poligami itu pada pertengahan 1960-an.

Sri, yang masih aktif dalam diskusi-diskusi, hanya ingin namanya bersih. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga keluarga-keluarganya yang mendapat stigma jelek dari orang-orang sekitarnya.