Mirip bulu burung
Sial sekali, tanaman itu tidak diberi nama Latin Arab, tapi Phoenix. Nama ini diberikan oleh Theophrastus, seorang mantri guru sekolah peripatetik di Yuhani. Disebut peripatetik karena sekolah itu mengajarkan filsafat, botani dan pengetahuan alam, dengan menyuruh murid-muridnya berdiskusi sambil mondar mandir.
Theophrastus melihat pohon itu untuk pertama kalinya di Phoenicia; daerah Libanon, pada tahun 2000 - 3000 sebelum Masehi. Linnaeus dari Swedia zaman kolonial kemudian mengukuhkan nama Latin bagi kurma itu sebagai Phoenix dactylifera. Pohon dari Phoenicia, yang daunnya mbegar seperti jari-jari.
Daun pohon itu memang menjulang tinggi di puncak pohon, seperti jari-jari tangan yang dikembangkan. Kalau masih muda. Sesudah tua, ia mulai loyo ke samping, sebelum lunglai ke bawah, untuk akhirnya gugur diam-diam.
Bentuknya juga aneh, seperti sirip, sehingga dari jauh tampak seperti bulu burung. Seluruh pohon lalu dimasukkan ke dalam kelompok feather palm, gara-gara daunnya seperti bulu ini.
Karena daun tua gugur, pada batangnya yang langsing ditinggalkan sisa pangkal tangkai, yang membuat batang itu tampak kasar. Batang yang rata-rata bergaris tengah 40 cm ini lebih kurang sama besarnya di seluruh tubuh.
Baca juga: Puasa Selama 22 Jam per Hari, Ini Tantangan Ramadan yang Harus Dilalui Muslim di Islandia
Tingginya 15 m, pada umur 10 tahun, tapi kalau dibiarkan tua (50 tahun, misalnya) ia bisa sampai 30 m. Embah(nya) kurma bisa sampai 150 tahun umurnya, tapi tingginya tetap 30 m.
Kawin paksa
Dulu kurma dibiarkan tumbuh alamiah di desa-desa sekitar sumber air dalam wahah, dan hanya dirawat kalau akan dipungut buahnya saja. Hasilnya terbatas. Apalagi kalau penyerbukan bunga yang akan menghasilkan buah diserahkan kepada alam.
Alam ini menugasi serangga sebagai makelar perkawinan. Biasanya mereka mogok, kalau cuaca kurang ramah.
Kini, penyerbukan (perkawinan) bunga dilakukan dengan tangan. Semacam kawin paksa, tapi bukan.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR