Jika pun harus memilih sekolah, Harini menyarankan agar orangtua lebih bersikap realistis. Orangtua harus belajar menoleransi jika dihadapkan pada kenyataan bahwa sekolah tidak memberi sesuatu kepada anak sesuai harapan orangtuanya.
Bahkan seringkali jauh panggang dari api. Terlepas dari apa pun kondisinya, setidaknya ada empat pertimbangan yang menurut Harini tidak bisa diabaikan.
Pertama, perkirakan kemampuan (dan kebahagiaan) anak. Tidak perlu memaksakan anak bersekolah di tempat yang suasana persaingannya sangat kuat jika orangtua tahu anaknya tidak tahan stres dan mudah putus asa.
“Mungkin dengan bersekolah di tempat yang ‘biasa-biasa saja’ anak justru bisa belajar mendalam karena tidak stres,” papar Harini. Belajar dengan perasaan bahagia juga dapat memberikan hasil yang baik.
Kedua, perkirakan kesanggupan fisik anak. Tidak perlu memaksakan anak bersekolah di lokasi yang jauh, terlebih jika orangtua mengenali fisik anaknya sering tidak fit.
Ketiga, pertimbangan tentang sekolah lanjutannya. “Jika menggunakan sekolah dengan dasar kurikulum nasional plus, pertimbangkan apakah nantinya anak akan cocok melanjutkan pendidikan di sekolah kurikulum nasional biasa,” imbau Harini.
Sebab berdasarkan pengalaman Harini menangani klien, anak dari sekolah alam perlu adaptasi ekstra untuk bisa duduk tenang di sekolah reguler. “Jadi saat memasukkan anak ke satu jenjang pendidikan, mulai pikirkan juga jenjang lanjutannya.”
Keempat, pertimbangan masalah biaya. Kita mafhum, tidak semua orangtua memiliki dana pendidikan yang tak terbatas. Jika orangtua memilih untuk bekerja ekstra demi menyekolahkan anak, ada baiknya si anak diajari untuk menghargai usaha itu sehingga ia belajar dengan baik.
Namun pembelajaran tentang makna kerja keras orangtua sebaiknya disampaikan sedemikian rupa. Tujuannya, agar orangtua tetap bijak jika suatu saat menemui kenyataan bahwa anaknya mengalami kesulitan belajar. “Kesulitan belajar yang dialami anak tidak selalu berarti anak itu malas,” kata Harini tegas.
Kuncinya tetap orangtua
Terlepas dari apa pun pilihan sekolahnya, lanjut Harini, kunci keberhasilan anak memang terletak pada orangtua. Hal ini tak lepas dari kewajiban orangtua menanamkan dasar-dasar kecintaan belajar dan kemauan si anak untuk mengembangkan diri.
Harini mencontohkan, kebiasaan membaca bacaan yang bagus bakal lebih efektif jika dicontohkan oleh orangtua di rumah. Atau, kebiasaan melakukan segala hal hingga tuntas, sangat dapat didukung oleh orangtua.
Pendampingan akan berhasil jika orangtua menerapkan sikap menghargai dan terbuka pada pendapat anak. “Dengan begitu, anak merasa bebas untuk mengemukakan ideidenya dan selalu bersemangat mengembangkan diri.”
Yohana Hardjadinata, konsultan pendidikan dari Tulip Education Group, Jakarta, menuturkan hal senada. Dia mengimbau agar orangtua mempunyai batas toleransi dalam memilih sekolah.
Umumnya pengajaran di sekolah cenderung menekankan pada pengembangan aspek kognitif, sementara aspek psikologisnya terabaikan. Maka, orangtua harus menambahkannya di rumah.
Misalnya, dengan mengajarkan anak agar mau berbagi, menahan emosi, dan mengasah kepedulian pada sesama.
“Sesibuk apa pun orangtua harus meluangkan waktu untuk anaknya,” kata Yohana. Ukurannya tentu bukan kuantitas, tapi kualitas hubungan kedekatan orangtua dengan anaknya.
Ada juga sekolah yang jumlah siswanya banyak sehingga perkembangan kemampuan belajarnya tidak optimal. Di sini, orangtua harus responsif dengan memberi latihan-latihan tambahan tertentu di rumah, dengan jadwal yang terorganisasi.
Bagaimanapun, tak ada pihak lain yang memiliki tanggung jawab lebih besar atas pendidikan anak kecuali orangtua. Kesibukan kerjalah yang mengharuskan orangtua mendelegasikan pendidikan anak kepada orang lain yang dipercayainya, seperti guru, suster, atau saudara. Namun tetap orangtua harus memantau perkembangan anak.
“Jadi orangtua harus berusaha ekstra. Sebab, ketika kita berkomitmen untuk berumahtangga, kita juga siap untuk dikaruniai anak,” data Yohana.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR