Intisari-Online.com - Dalam persoalan karier suami-istri ini, terutama saat karier istri melesat, dikenal istilah sindrom Hemmingway. Sindrom ini berpangkal dari kisah penulis Amerika Serikat yang terkenal Ernest Hemingway.
Di suatu masa di akhir tahun 1930-an, Hemmingway bertemu dengan Martha Gellhorn, jurnalis dan penulis novel yang sedang merangkak naik kariernya. Kepincut lalu ingin memilikinya, Hemmingway pun menceraikan istrinya.
Namun dalam perjalanan waktu, karier Gellhorn mulai melesat. Gellhorn mendapat kehormatan menjadi wartawan perang bagi salah satu majalah paling top di masa itu, Collier's.
Hemingway sangat bangga pada istrinya yang jauh lebih muda. Saat itu kemasyhuran si istri masih beberapa tingkat di bawahnya. Namun, begitu peringkat Gellhorn naik, Hemingway sengaja merebut kursi Gellhorn di Collier's, sehingga si istri cuma kebagian sebagai wartawan lepas.
Pada saat Hemingway naik jip sambil dikelilingi tentara dari satu medan ke medan lain, nyawa Gellhorn berada di ujung tanduk, karena harus berusaha menyelinap dari tempat gawat yang satu ke tempat gawat yang lain tanpa perlindungan.
Rupanya, Hemingway lebih cinta kariernya sendiri daripada istrinya. Apalagi dia tak ingin karier istrinya melesat. Itulah akhir dari keruntuhan pernikahan mereka yang hanya berusia lima tahun.
Kompetisi bikin tak bahagia
Menurut penelitian yang dilakukan oleh tim dari American Psychological Association, kesuksesan karier istri dipandang dapat menjadi pangkal dari konflik rumah tangga. Kesuksesan tersebut bisa mengubah persepsi seorang pria terhadap hubungan romantisme di masa depan.
Di AS, fenomena ini meningkat pesat pada sekitar pertengahn tahun 1980-an. Direktur American Counseling and Services di New York City dan juga seorang psikoterapis AS, Berta R. Hershcopf, berpendapat, "Keinginan untuk memiliki karier yang sungguh-sungguh menimbulkan tambahan stres bagi wanita. Stres itu berpengaruh terhadap hubungan wanita dengan pasangannya. Kalau si wanita lebih sukses daripada pasangannya, perimbangan kekuasaan mendapat peluang untuk tumbang. Mula-mula si wanita merasa kesal pada si pria, lalu merasa bersalah, dan akhimya marah."
Bagaimana dengan si pria? "Ia merasa direndahkan dan malu," kata Hershcopf. Soalnya, si wanita seakan-akan berkata, "Aku tak bisa lagi mencintaimu, karena dibandingkan dengan aku kau manusia gagal."
Padahal dibandingkan dengan rekan-rekan pria di masa yang lalu, pria masa kini tidak lebih memble. Cuma saja, sekarang lebih banyak wanita yang sukses. Kini terjadi persaingan antara pria dan wanita. Kalau pihak wanita yang berada di atas angin, si pria maupun si wanita, belum tahu cara menanggulangi segi emosional dan psikologisnya.
Menurut Pepper Schwarts dalam American Couples, penelitian tentang hubungan priawanita dalam bidang keuangan, pekerjaan, dan seks, menunjukkan bahwa wanita lebih bahagia kalau pasangannya sukses dalam pekerjaannya.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR