Semangat toleransi menjiwai pelaksanaan tugasnya. Toleransi itu pula salah satu unsur, mengapa dia tertarik akan agama Buddha. Menurut pendapatnya, jiwa toleransi bangsa Indonesia tercermin pada Pancasila.
"Apabila Pancasila sungguh-sungguh kita amalkan, maka kita dapat memberikan lichtpunt, sinar terang kepada dunia."
Dalam menjalankan tugasnya Bikhu Jinarakkhita dibantu oleh seorang bikhu lain dan dua orang samanira (calon bikhu). Mereka termasuk Persaudaraan Rahib, hidup selibat (tidak kawin), pantang makan daging dan menjalankan disiplin kebatinan yang keras.
Baca juga: Peneliti Belanda Dikejutkan Adanya Mumi Seorang Biksu dalam Patung Buddha Berusia 1000 Tahun
Di samping mereka masih ada 1000 upashaka-upashika, para alim-ulama yang berwenang mewakili para bikhu dalam upacara perkawinan, kematian, dan Iain-lain.
Mereka boleh berumah tangga biasa, meskipun terikat pula oleh syarat-syarat tertentu yang membedakannya dari umat Buddha lainnya.
Tahun 1953, sekembalinya dari Eropa, Drs. The Boan An ditahbiskanmenjadi bikhu menurut ritus Mahayana di Jakarta. Kemudian dia melawat ke Birma. "Setelah diuji pengetahuan dan meditasi, maka saya diperkenankan hidup dalam biara memperdalam kitab-kitab Pali, Sansekerta mengenai ajaran Sang Buddha."
Setelah setahun di Birma, dia ditahbiskan menjadi bikhu sempurna menurut ritus Sthawiravada dan mendapat gelar Dharmacharja dari Dewan Buddha Sasana di Rangoon.
Tahun 1955 Maha Nayaka Stavira Ashin Jinarakkhita kembali ke Tanah Air sebagai bikhu putera Indonesia yang pertama di abad XX.
"Sepuluh tahun Yang Mulia Maha Nayaka Stavira menegakkan dan mengembangkan kembali agama Buddha di Indonesia," demikian antara lain sambutan Kolonel Soemantri Mohammad Saleh, Ketua Perhimpunan Buddhis Indonesia pada resepsi peringatan 10 tahun Bikhu Stavira Ashin Jinarakkhita di Gedung Wanita Jakarta.
Selama 10 tahun tersebut Bikhu Jinarakkhita mengajarkan kepada umatnya bahwa dunia ini penuh penderitaan. Penderitaan tersebut disebabkan oleh nafsu loba, kebencian dan pengetahuan yang palsu (loba, dosa, moha).
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR