Satu lagi, imbuhnya, bergabunglah dengan komunitas orangtua yang juga memiliki anak dengan gangguan yang sama, agar tidak merasa sendirian menghadapinya. Diakuinya, ada orangtua yang tega meninggalkan keluarganya atau bercerai dengan pasangan karena tak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya berkebutuhan khusus.
“Tidak apa-apa. Kalau dia pergi, berarti dia belum mampu menerima keadaan. Yang penting kita punya support system yang kuat dan banyak, yaitu orangtua, keluarga besar, teman, terutama teman-teman dengan anak yang sama. Yang jauh lebih penting adalah agama kita kuat. Kembalikan semuanya pada Tuhan, karena dari sanalah semua berasal,” terangnya.
Memilih Sekolah
Bisa jadi semua langkah ini melelahkan, baik fisik maupun psikis, belum lagi ditambah harus menghadapi perilaku anak itu sendiri. Bisa menerima dan memberikan penanganan sesuai kebutuhan anak agar kemampuannya bisa berkembang secara optimal dan mandiri, menurutnya, merupakan cara bersyukur atas anugerah Tuhan yang istimewa ini dalam keluarga.
“Yang penting, harus ekstra sabar. Makanya, orangtua sebaiknya rajin ikut konseling dan ikut komunitas. Sebab, ada masa-masa di mana orangtua tidak sanggup menghadapi masalah ini.”
Bila kita sudah tahu apa terapi dan bagaimana penanganannya, barulah bicara soal pendidikan, apakah anak akan dimasukkan ke sekolah umum, khusus, atau inklusi (dengan guru bayangan). Dosen psikologi di Universitas Tarumanegara ini mengingatkan, orangtua juga harus bersiap akan risiko bullying yang sering terjadi pada ABK.
ABK, imbuhnya, memang rentan mengalami bullying lantaran terlihat berbeda dari anak lain, bisa secara fisik, perilaku, kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi sosial, atau kecerdasan intelektualnya.
Itu sebabnya, bila ternyata anak mampu bersekolah di sekolah reguler, Verauli menyarankan untuk memilih sekolah reguler dengan proporsi perbandingan yang kecil antara jumlah guru dan siswa, sehingga anak selalu terpantau.
Misalnya, 1:20, artinya satu guru untuk 20 siswa. Kedua, orangtua juga harus memahami nilai-nilai yang ada dan dianut sekolah yang dituju. Carilah sekolah yang memiliki nilai-nilai yang baik dan menghargai perbedaan. Ini, menurut Verauli, bisa terlihat dari sikap siswanya, apakah siswa-siswanya bersikap sopan atau tidak. Bila memang yang dipilih adalah sekolah reguler, komunikasikan kondisi anak secara rutin dengan gurunya, minimal seminggu sekali, tergantung kebutuhan anak.
“Makin berat gangguan yang dialami, terutama untuk autisme, sebetulnya dia makin terhambat di sekolah reguler. Maka, makin seringlah berkomunikasi dengan guru,“ saran psikolog cantik ini.
Nah, agar anak juga mengenal lingkungan sekitarnya dan lingkungan juga bisa menerima kehadirannya dengan baik, Verauli menyarankan agar anak sering diajak ke lingkar kehidupan sosial di sekitarnya.
Belajar Bersosialisasi
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR