Intisari-Online.com – Dalam rangka memperingati Hari Ibu, kami menurunkan tulisan yang pernah dimuat dalam buku terbitan Intisari tahun 2010, Ibu Di Mata Mereka, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis. Beberapa tokoh Indonesia mengisahkan tentang Ibu mereka. Kali ini adalah Ibu di Mata Anies Baswedan; Ibuku yang Penuh Pengertian.
--
Aku, Anies Rasyid Baswedan (lahir 7 Mei 1969) anak sulung dari pasangan ayahku, Drs. A. Rasyid Baswedan SU - berasal dari Yogyakarta dengan ibuku, Prof. Dr. Aliyah Rasyid Baswedan, M.Pd yang berkampung halaman di Kuningan, Jawa Barat dan baru saja pensiun dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Oktober 2010. Aku punya dua adik lelaki Ridwan dan Abdillah. Adik perempuanku Haifah wafat saat berusia tujuh tahun.
Bersama orang tua dan kedua adikku, kami tinggal di rumah kakek, A.R. Baswedan di daerah Taman Yuwono, Yogyakarta. Sebuah kompleks perumahan yang dibangun untuk hunian para pejuang kemerdekaan.
Aku mengenal kakekku sebagai seorang jurnalis, pejuang dan perintis kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946). Juga anggota Konstituante (Dewan Perwakilan Rakyat). Menurut ibuku, sejak bocah, aku sangat aktif dan tidak cengeng. Ibuku sering terheran-heran akan kebandelan dan pembawaan tahan banting yang melekat pada diriku. Terjatuh, tanganku kena setrika pun tidak membuatku menangis, apalagi jera!
Aku bukan hanya tak betah diam tapi juga nakal. Suka berantem. Pada masa itu, petinju dunia Muh. Ali sering jadi idola. Bisa jadi aku tertular hal itu sehingga kadangkala aku memukul salah seorang kawan sekampung, sampai berdarah. Ganjarannya, jelas. "Aku dikeroyokl"
Waktu aku berusia sekitar lima tahun, aku dikeroyok sekitar lima – enam anak sebaya di lapangan tenis. Ternyata, pada saat insiden itu, ibuku yang baru pulang dari kampus, menyaksikan kejadian tersebut. Kata Ibu, ia sengaja berpura-pura tidak melihat dan membiarkan pengeroyokan itu terjadi. Katanya, kondisiku nampak tidak membahayakan. Tujuannya agar aku berlatih bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Aku tumbuh di lingkungan keluarga pejuang yang sangat sederhana, pendidik, aktif dalam pergerakan, dan sangat sosial. Ayah dan ibuku adalah dosen. Meski aku lahir di lingkungan akademisi, kami bertiga dibiarkan tumbuh secara alamiah. Contohnya: kami tidak dipaksa untuk bisa membaca dan berhitung dalam usia dini. Mereka membiarkan kami bermain yang produktif dan kreatif. Karena mereka berpendapat bahwa dunia bermain pada anak, sama dengan dunia bekerja pada orang dewasa.
Akhirnya, usia tiga tahun aku mulai merengek dan menangis untuk dimasukkan sekolah. Ibuku berpikir aku hanya latah, ingin seperti anak-anak lain yang bersekolah di TK Bustanul Afthal, tak jauh dari rumah Kakek.
Ibuku tidak langsung luluh dengan sikapku tadi. la berkonsultasi dengan seorang psikolog terkemuka di Yogyakarta. Rupanya, ibuku menjalankan anjuran sang psikolog. Ibuku dengan bijaksana meluluskan keinginanku. Namun, bila tiba-tiba aku "mogok", aku pun tak usah dipaksa kembali ke sekolah.
Ibuku yang selalu penuh pengertian, mengamati perilakuku yang belum mantap. Terkadang bersemangat pergi sekolah, lain waktu malasnya bukan main. Menjelang usia lima tahun, aku baru masuk sekolah TK Syuhada di Kota Baru, Yogyakarta. Ibuku yang setiap hari mengajar di kampus, diam-diam mengikuti becak yang mengantarku pergi sekolah. Katanya, ia tidak tega melepasku seorang diri. Tapi ia juga ingin aku dapat lebih cepat mandiri.
Meski kami hidup sederhana, tapi aku merasakan kebersamaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang luar biasa. Kami selalu makan bersama, waktu yang dimanfaatkan orang tuaku untuk memberikan pendidikan kejujuran, keadilan, dan kebersamaan, dengan cara yang amat sederhana. Aku merasakan kehidupan kami amat menyenangkan.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR