Bagaimana wajah Jakarta dan penduduknya pada dekade pertama abad XX? Ternyata seperti dunia lain bagi kita, walaupun ada juga hal-hal yang masih sama dengan sekarang. Kita ikuti saja kesan-kesan Augusta de Wit, seorang wanita Eropa yang mendarat di Tanjung Priok pada awal abad ini dari bukunya Java, Facts and Fancies (1921).
Setiba di Pelabuhan Tanjung Priok, saat akan naik ke kereta api, saya sadar bahwa keadaan di sini berbeda dibandingkan dengan negeri mana pun. Tidak ada yang berebut, berteriak, atau bergegas. Kuli-kuli yang bertelanjang kaki dengan santai memanggul peti-peti besar kepunyaan penumpang kapal. Dengan sabar pula mereka menunggu di kantor dan di peron. Kalau ada orang Eropa yang menganjurkan untuk bergegas, mereka memandang dengan wajah yang keheranan. Kenapa "orang Belanda" ini sangat tidak sabar? Waktu 'kan banyak. Seakan-akan tidak ada hari esok saja. Tergesa-gesa malah celaka nanti!
Akhirnya, kereta berangkat juga, melewati daerah setengah hutan dan setengah rawa. Di sebelah kanan terdapat kanal yang panjang, lurus, dan airnya kehitaman. Saya tiba di stasiun Batavia saat matahari sudah terbenam.
Saya memanggil salah satu kereta kecil beroda dua yang menunggu di depan stasiun. Bentuknya aneh. Lenteranya besar-besar. Kudanya kecil. Kereta itu lewat di jalan besar yang tepi-tepinya dipayungi pepohonan. Sementara itu burung-burung berkicau dengan cerewetnya di antara dedaunannya. Kadang-kadang tercium bau bunga di udara yang tidak berangin. Bunganya sendiri tidak kelihatan.
Dalam kegelapan kami melewati gedung tinggi berwarna putih. Konon itu kediaman gubernur jenderal. Setelah jembatan, dari belokan, tampak sederet jendela toko yang terang benderang di sebelah kiri jalan. Ada juga gedung perkumpulan. Di kanan jalan ada kanal yang diterangi lampu-lampu jalan. Banyak orang berjalan-jalan. Kereta-kereta lewat membawa kaum wanita. Saya sudah tiba di tujuan saya, di Rijswijk (sekarang Jln. Majapahit -Red.) yang terletak di pinggiran Kota Batavia.
Naga di celana
Siang hari cahaya matahari sangat terik. Penjual air yang berkain dan bertelanjang dada lewat memikul kaleng-kaleng air. Bahunya yang coklat berkilat-kilat. Ada juga yang memanggul pikulan bunga, buah, cita, dan batu akik. Kepala mereka dilindungi dengan topi jerami yang lebar dan berbentuk jamur.
Lewat pula orang-orang Arab yang berwajah serius dan orang-orang Cina yang mengobrol sambil tangan mereka tidak henti-hentinya digerakkan.
Orang-orang Eropa sebaliknya tidak kelihatan, kecuali yang lewat dengan bermacam-macam kereta. Rupanya, mereka tidak tahan akan teriknya matahari.
Orang-orang Eropa sesama penghuni hotel saat itu berada di beranda-beranda yang teduh, bermalas-malasan sambil minum limun dingin dilayani pelayan-pelayan pribumi. Sebagai pendatang baru, saya terkejut melihat pakaian mereka. Kaum wanitanya mengenakan pakaian yang tampaknya seperti pakaian penduduk asli, yaitu sarung dan kebaya!
Kebaya itu semacam baju dari kain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran. Di bagian depannya disemat dengan peniti-peniti hiasan yang diuntai dengan rantai emas. Sarung adalah sepotong kain warna-warni yang dilipat di bagian depan dan diikat di pinggang dengan ikat pinggang sutera.
Mereka tidak memakai kaus kaki, cuma memakai sandal berhak tinggi. Rambutnya meniru gaya penduduk asli, yaitu ditarik ke belakang dan disanggul di belakang kepala. Menurut saya kurang pantas walaupun orisinal.
Lebih mencengangkan lagi ialah pakaian kaum prianya. Di saat santai mereka memakai baju tidak berkerah. Celananya dari kain sarung yang tipis, dihiasi bunga-bunga merah dan biru, ada yang kupu-kupu dan naga!
Mulut kebakaran
Tapi yang paling di luar dugaan adalah yang disebut rijstafel. Nasi dengan lauk-pauknya itu bukan disajikan di kamar makan biasa, tapi di beranda belakang. Beranda belakang bentuknya memanjang. Atapnya tinggi disangga tiang-tiang putih. Beranda itu menghadap ke kebun yang ditumbuhi tanaman bunga dan pepohonan.
Makanan disajikan oleh pelayan-pelayan pribumi yang bergerak tanpa suara karena bertelanjang kaki. Potongan pakaian mereka setengah Eropa, dipadukan dengan sarung Jawa dan ikat kepala dari kain.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR