Intisari-Online.com - Salam Sunda "sampurasun" yang dipelesetkan Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab menjadi "campur racun" mendapat perhatian netizen. Sebagian netizen pun bertanya arti kata sampurasun.
Dalam akun resmi Facebook-nya, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menjelaskan arti kata sampurasun.
Ia menggunakan judul "Catatan Kecil Makna Sampurasun". Sampurasun berasal dari kalimat "sampurna ning ingsuh" yang memiliki makna "sempurnakan diri Anda".
Kesempurnaan diri adalah tugas kemanusiaan yang meliputi penyempurnaan pandangan, penyempurnaan pendengaran, penyempurnaan pengisapan, dan penyempurnaan pengucapan yang semuanya bermuara pada kebeningan hati.
"Pancaran kebeningan hati akan mewujud sifat kasih sayang hidup manusia, maka orang Sunda menyebutnya sebagai ajaran Siliwangi, silih asah, silih asih, silih asuh," tulis Dedi dalam akun Facebook-nya yang diunggah pada Rabu (25/11/2015).
Ketajaman inderawi orang sunda dalam memaknai sampurasun melahirkan karakter waspada permana tinggal (ceuli kajaga ku runguna, panon kajaga ku awasna, irung kajaga ku angseuna, letah kajaga ku ucapna yang bermuara pada hate kajaga kuiikhlasna- telinga terjaga oleh pendengarannya, mata terjaga oleh penglihatannya, hidung terjaga oleh penciumannya, lidah terjaga oleh ucapannya yang bermuara pada hati yang memiliki kebeningan).
Waspada permana tinggal bukanlah sikap curiga pada seluruh keadaan, melainkan merupakan manifestasi dari sosok perilaku Sunda yang deudeuhan (penyayang) welasan, asihan, nulung kanu butuh nalang kanu susah nganteur kanu sieun nyaangan kanu poekeun (menolong pada yang sedang membutuhkan, membantu yang sedang susah, mengantarkan yang sedang ketakutan, dan menerangi yang tengah dalam kegelapan) selalu bersikap tolong-menolong pada sesama hidup.
Dedi menjelaskan, sareundeuk saigel itu makna persenyawaan gerak secara individual. Mata telinga hidung lidah kaki bersenyawa dengan pikiran dan hati dalam satu kesatuan yang manunggal dengan pemilik kesemestaan.
Yang kedua, makna persenyawaan yang komunal antara individu dalam satu kultur masyarakat Sunda yang memiliki ikatan spirit dan emosi yang manunggal dengan pusat penggerak kesemestaan Yang Maha Semesta, Maha Mengatur, Maha Memelihara, Allah SWT.
"Ikatan emosional komunal dan spiritual dalam perilaku hidup masyarakat yang berbudaya disebut gotong-royong," tuturnya.
Hal ini pun melahirkan "peng-aku-an" dalam diri orang Sunda, yakni hirup ukur sasampeuran awak ukur sasampayan sariring riring dumadi sarengkak saparipolah sadaya kersaning Allah. Maknanya, kepasrahan tanpa pengakuan individual, jiwa raga, napas, gerak hidup, semua milik Allah, Tuhan semesta alam.
Sifat totalitas kepasrahan inilah yang menjadi sosok manusia Sunda seutuhnya.
(kompas.com)