Kemudian Prancis jatuh ke tangan Jerman (1940). Jepang memanfaatkan kesempatan untuk mendapat kekuasaan yang semakin lama semakin banyak di daerah konsesi Prancis.
Sesudah lulus dari Chiao Tung tahun 1940 saya menjadi asisten di sana, mengajar teknik elektro. Jelas tidak lama lagi Jepang akan menguasai Shanghai. Jadi bersama delapan teman sekelas saya ikut proyek pembuatan pemancar dan radio untuk tentara pemerintah Kweilin yang terletak di pedalaman.
Saya tidak tahu bahwa tidak lama setelah saya meninggalkan Shanghai, Ayah meninggal. Saya tidak tahu apa tepatnya penyebab kematiannya. Cuma dikatakan bahwa ia meninggal akibat perang. Ketika itu kakak saya, Hsu, baru menikah dan tinggal bersama keluarga suaminya, sedangkan adik-adik saya diambil oleh keluarga kami. Hsu juga kemudian meninggal akibat perang. Adik-adik saya selamat, tetapi saya baru berjumpa kembali dengan mereka 40 tahun kemudian.
Menuju AS
Saya tidak heran kalau tentara Kuomintang kemudian kalah melawan komunis. Rakyat tak mau membantu mereka bukan karena ingin diperintah komunis tetapi karena mereka segan diperas oleh tentara Kuomintang. Tentara Kuomintang korup. Mereka meminta perbekalan dalam jumlah yang jauh melebihi kenyataan, padahal saat itu Cina sedang menghadapi Jepang.
Sesaat sebelum Jepang merebut Kweilin di tahun 1944, kelompok kami diungsikan ke Chungking. Semasa di Kweilin, saya mendengar ada program latihan di AS bagi para insinyur Cina. Program yang disponsori pemerintah nasionalis itu dimaksudkan untuk persiapan membangun kembali Cina. Program itu sebagian disokong oleh uang Amerika.
Saya ikut ujian dan diterima. Dalam ujian itu saya lulus nomor dua, sedangkan juara pertamanya teman sekelas juga, T.L. Wu. (Setelah tamat belajar di AS Wu kembali ke Cina. la tewas dibunuh di masa Revolusi Kebudayaan).
Ada beberapa ratus orang yang terpilih ikut program ini. Kami diangkut dengan DC-3 ke Ledo di India, lalu dengan kereta api ke Kalkuta. Ketika itu Jerman baru beberapa minggu menyerah. Dengan kapal Amerika kami tiba di Newport News, Virginia, pada bulan Juni 1945. Rencananya saya akan berada di AS selama dua tahun dengan uang saku sebesar AS$ 100 sebulan. Masa itu uang sekian cukup untuk hidup pas-pasan.
Orang-orang tidak percaya bahwa saya tidak pernah mengalami culture shock ketika tiba di negara yang kekayaannya, orang-orangnya, dan makanannya berbeda itu. Anehnya saya justru melihat banyak persamaan dengan Cina. Mungkin karena persamaan itulah yang saya cari.
Kelompok saya dikirim ke Georgetown University di Washington, D.C. Saat itu sedang musim panas, sehingga banyak asrama kosong. Kami boleh tinggal di sana sampai menemukan tempat untuk latihan di perusahaan-perusahaan besar AS. Ada rekan saya yang magang di Westinghouse, ada pula yang di RCA.
Ketika saya masih menunggu lowongan, saya ketahui bagi kami juga terbuka kesempatan untuk mengikuti program pascasarjana. Saya melamar ke Harvard University. Banyak dosen Chiao Tung, termasuk dekan teknik elektro, adalah lulusan Harvard. Dari merekalah saya mengetahui reputasi universitas itu.
Tidak ngoyo
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR