Intisari-Online.com –
Oleh JIMBO the Educator, Co-Founder & CEO Tes Bakat Indonesia
Di sebuah kantin sekolah dasar yang cukup ternama itu tampak berbagai macam aktivitas terjadi di dalam kantin tersebut. Hiruk pikuk suara anak-anak yang habis berolahraga berteriak dengan sekuat tenaga mereka, untuk berjuang membeli nasi goreng ayam kesukaan mereka yang selalu habis dibeli anak-anak yang beruntung sebelum jam makan siang.
Tetapi yang menarik dari pemandangan itu bukanlah keluwesan anak-anak untuk saling berebut membeli nasi ayam itu. Tepat di samping kiri dari jendela kantin yang diperuntukkan untuk menjual makanan itu, tampak 4 orang ibu-ibu sedang duduk berbincang dengan peluh berkeringat dan sambil masing-masing menikmati es teh tawar di gelas plastiknya. 4 orang ibu-ibu ini ternyata sedang "mendiskusikan" mengenai anak-anak mereka. Pembicaraan mereka kurang lebih berlangsung seperti ini.
Ibu 1: "Eh, tahu enggak. Saya kagum banget loh sama anak saya. Bayangin aja. Anton dari semenjak kecil sudah les piano, dan pas ultah ke-9, Anton berhasil menjadi salah satu murid termuda yayasan musik itu. Saya dan suami, walaupun tidak bisa bermain musik, dari dulu memang berpendapat bahwa anak harus dipastikan belajar piano dari kecil agar otaknya lebih bisa berkembang dan menjadi lebih kreatif."
Ibu 2: "Wah hebat kali anakmu Anton. Anak saya Ika juga tidak kalah hebat loh. Dia mulai ikutin jejak saya sebagai seorang pesenam dari umur 5 tahun. Hampir setiap hari semenjak dia berumur 4 tahun, dia ikut terus dengan saya ke tempat senam dan melihat kami semua berlatih. Ika pada awalnya menolak mati-matian untuk belajar dan selalu mencoba untuk berontak lari. Tetapi dengan jalannya waktu, akhirnya dia mau mencoba dan kemarin baru pertama kali mengikuti lomba senam dan akhirnya menjadi juara 2 se DKI Jakarta."
Ibu 3:"Sebenarnya buat saya sendiri yang terpenting adalah anak saya jadi multi-talent. Punya banyak keahlian dimana nantinya apapun yang dia putuskan untuk kerjakan, sudah ada modal dasar keahliannya. Makanya si Bonar dari umur 2 tahun sudah kami masukkan dalam berbagai macam kursus dan kegiatan ekstra kurikuler.
Ibu 4: "Wah hebat-hebat ya anak sekarang. Kalau buat saya malah simple. Saya ingin anak saya bisa menghargai kehidupan sungguh-sungguh dengan belajar dan bermain dengan maksimal. Saya ingin mereka punya karakter yang kuat dan bisa mandiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan eksplorasi terhadap pilihan-pilihan kehidupannya. Sehingga apapun keputusan yang dia ambil dalam hidupnya, dia punya drive dan ambisi yang kuat untuk menjadi sukses.”
Percakapan dari 4 ibu ini merupakan representasi dari kebanyakan pemikiran orangtua jaman sekarang. Ini merupakan perwakilan dari ambisi dan kebanggaan orangtua terhadap anak-anak mereka. Dimana perlu diingat betul bahwa kebanggaan dan ambisi kita sebagai orangtua adalah pedang bermata dua yang bisa menjadi berkat atau pendorong semangat terbesar untuk anak kita, atau malah menjadi kutuk yang menjerumuskan anak kita sendiri.
Ibu 1 merupakan gambaran dari orangtua yang menjadikan anaknya sebagai perpanjangan tangan untuk mimpinya yang tidak tercapai dalam kehidupannya dulu. orangtua yang seperti ini sangat sulit untuk melihat anaknya sebagai individu yang terpisah dari kepribadiannya sendiri. Perlu diingat sebagai orangtua bahwa setiap anak dilahirkan berbeda dan spesial dengan bakal, minat, dan kepribadiannya masing-masing, yang tentunya bisa sama sekali berbeda dengan orangtuanya.
Biasanya yang terjadi adalah semakin besar mimpi atau hasrat orangtuanya yang tidak tercapai, semakin kuat dorongan dari orangtua agar anaknya bisa menghidupi mimpi orangtuanya yang tidak kesampaian itu. Padahal, sangat penting untuk di pahami bahwa anak itu adalah sebuah titipan bukan alat.
Sedangkan Ibu 2 adalah gambaran orangtua yang terlalu percaya akan yang namanya legacy atau prinsip warisan. orangtua yang seperti ini mempunyai pemahaman bahwa bakat, minat, dan kepribadian dari mereka sebagai orangtua bisa diturunkan kepada anak-anak mereka untuk melanjutkan kerajaan yang sudah dibangun.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR