Intisari-Online.com - Terusan Suez merupakan jalan penghubung yang paling penting bagi perbekalan Inggris. Terusan itu menghubungkan Laut Tengah dan Laut Merah. Kalau Jerman berhasil menutup atau memblokirnya sementara waktu saja (untuk itu cukup menengelamkan sebuah kapal di terusan sempit itu), maka iring-iringan kapal yang membawa perbekalan Inggris harus menempuh jalan yang panjang dan berbahaya melewati Cape of Good Hope di Afrika Selatan. Akibatnya, tentara Commonwealth akan menderita.
Rommel juga membutuhkan terusan itu, yang bisa diperolehnya kalau Eight Army di Afrika sudah dikalahkan. Jadi, kemungkinan besar tidak akan dibom. Namun, Inggris takut Jerman berhasil menutupnya untuk sementara.
Untuk mencegah Jerman menenggelamkan kapal atau menjatuhkan ranjau ke terusan itu, maka terusan itu dipasangi jala antitorpedo untuk menangkap benda-benda yang dijatuhkan dari udara, sementara alat-alat penyapu ranjau terus-menerus berpatroli.
Ketika mendengar keberhasilan Maskelyne, Canal Defence Force mengajukan permintaan supaya kanal itu dilenyapkan dari pandangan Jerman!
Jerman diketahui bisa melenyapkan sungai dekat pabrik-pabrik mereka dengan menyebarkan debu batubara di permukaan air, sehingga sungai tampaknya seperti jalan. Namun Inggris tidak bisa memperlakukan Terusan Suez dengan cara itu. Soalnya, Jerman tahu betul di mana tepatnya terusan itu berada.
Maskelyne yakin dapat melenyapkan Terusan Suez dari pandangan dengan mempergunakan lampu sorot antipesawat untuk membuat tabir cahaya sekitar terusan. Tidak mungkin untuk melihat terusan melalui tabir yang menyilaukan itu.
Namun pada musim gugur 1941 itu lampu sorot langka di Afrika Utara. Yang ada pun sering dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lain yang diperkirakan akan dibom. Karena Maskelyne hanya akan memperoleh sedikit saja lampu sorot, berarti ia harus memperbesar kekuatan lampu sorot itu. Dalam hal cahaya ini ia ahli. Dengan reflektor setiap lampu sorot cahayanya dibagi menjadi 24 sorotan. Berkat reflektor yang tepat dan sudut yang tepat, setiap sorotan mampu menutupi area di langit sebesar yang bisa ditutupi oleh sorotan yang orisinal. Jika ke-24 reflektor diputar cepat, cahaya yang terpantul ke udara akan berputar pula.
Untuk menguji keampuhan tabir cahaya itu baginya disediakan sebuah C-47 Dakota dan sebuah Spitfire. Maskelyne mengundang Prof. M.W. Sawyer, seorang ahli fisika cahaya yang terkenal dari Cairo University untuk ikut dengan pesawat.
Otak serasa copot
Malam tanggal 21 September 1941, dua pesawat itu terbang 12.000 kaki di atas gurun Afrika Utara. Maskelyne dan Sawyer menumpang Dakota. Ketika Kairo tampak berkedip-kedip di kejauhan, Maskelyne memberi tanda agar awak lampu sorot mulai melakukan tugasnya. Mula-mula tampak secercah cahaya di gurun yang hitam, yang ditujukan agar ke kiri pesawat. Cahaya itu cokelat suram. Tetapi makin lama warnanya lebih menyala. Dari cokelat ia menjadi jingga, lalu kuning, kemudian putih. Dua puluh empat sorotan membelah langit. Kedua pilot mengerahkan pesawat ke sumber cahaya itu. Di darat Frank Knox mengecek apakah semua anak buahnya sudah memakai kedok berkaca hitam dan memperingatkan mereka agar jangan sampai memandang langsung pada cahaya.
Kemudian cahaya bersinar penuh dan mulai diputar. Mula-mula putarannya perlahan, lalu berangsur cepat.
Di udara Maskelyne mengawasi cahaya menyilaukan yang mulai berputar-putar. Tahu-tahu ia merasa mual. Ketika Dakota masuk ke cahaya, dunia dirasakannya terbalik. Maskelyne memejamkan matanya, tetapi cahaya seperti menembus. Ia menutup matanya dengan tangan, tetapi sia-sia saja. Ia merasa otaknya seperti dicopot dari tengkorak. Dakota mencoba menghindar ke luar cahaya, tetapi kehilangan keseimbangan dan penumpang merasa jungkir balik. Lengan Prof. Sawyer luka, karena ia terbanting mengenai sekat pada pesawat.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR