Selama itu Kartini tidak bertopang dagu. la menulis artikel-artikel a.l. dalam majalah “de Echo". Untuk memenuhi permintaan ayahnya ia menggunakan nama samaran “Tiga Saudara". Tetapi akhirnya orang toh tahu juga.
“Cis, seorang gadis menulis karangan yang dibaca semua orang, tak tahu malu.” Bahasanya lancar. Beberapa suratkabar memuat karangan Kartini sebagai reklame. Aneh bukan, seorang gadis “Inlander"'pandai menulis dalam bahasa Belanda.
Sesudah keinginannya pergi ke Eropa gagal, Kartini mula-mula ingin menjadi dokter. Ayahnya tak setuju. Tujuh tahun terlampau lama untuk gadis yang sudah berumur lebih dari 20 tahun. Mereka akan menga jukan permohonan beasiswa untuk dididik menjadi guru di Jakarta.
Baca juga:Riana dan Riani, Kartini Kembar yang Selalu Menghiasi Terbang Paralayang Indonesia
Selama menunggu jawaban, mereka dirikan sebuah sekolah yang bercorak kekeluargaan. Untuk sementara tak diharapkan campur tangan pemerintah, supaya jangan terikat syarat-syarat tertentu. Bila kemudian mendapat subsidi, apa boleh buat.
Seorang janda berpangkat, yang sudah berumur akan mendampingi mereka. la juga akan memberi pelajaran agama. Sebagai wanita yang belum bersuami tak pantas tampil kemuka umum seorang diri.
Jika kemudian sudah lulus, menurut rencana mereka akan mendirikan sekolah di Magelang atau Salatiga. Pilihan jatuh pada kota-kota itu karena ada banyak dokter-dokter militer. Mereka akan membuka kursus untuk mendidik dokter-dokter wanita, perawat dan bidan dengan bekerja sama dengan dokter-dokter itu.
Sebelum pemerintah mengambil putusan orang lain sudah mendahului. Pada tanggal 27 Juni 1903 datang seorang utusan Bupati Rembang untuk meminang Kartini. la ditinggalkan isterinya dan mempunyai beberapa anak. Orang tua Kartini sangat menjetujui perjodohan itu.
Kartini menyerah. Calon suaminya seorang yang berjiwa progressip. la bersedia memberi kelonggaran pada bakal isterinya untuk meneruskan perjuangannya, juga sesudah pernikahan mereka.
Tanggal 7 Juli keluar putusan pemerintah, Kartini dan Roekmini mendapat tunjangan f 4800 untuk meneruskan pelajarannya di Jakarta.
Karena mereka tak dapat menggunakan kesempatan itu, Kartini minta pada pemerintah apakah sekiranya tunjangan itu dapat diberikan pada Salim hasratnya yang besar untuk belajar di Eropa mendjadi dokter.
Rupa-rupanya permintaan itu ditolak, Salim tidak beladjar di negeri Belanda.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR