Advertorial
Intisari-Online.com – Selain menciptakan "musuh bersama", ancaman AS justru membuka pemerintah Irak akan perlunya sesama.
Berbeda dengan periode sebelumnya, di era 2002 Irak menjadi lebih terbuka. Mereka tidak saja lebih ramah, tetapi juga lebih santai.
Pancaran sinar mata para petugas jelas menampakkan tak lagi terbebani "kerahasiaan" yang tinggi.
Irak juga lebih ramah pada wartawan. Sangat mengherankan ketika mereka sangat membantu di perbatasan. Sama sekali tidak tampak adanya upaya membatasi wartawan.
Bahkan lebih mengherankan ketika mereka pun membiarkan seluruh peralatan, dari komputer, kamera, hingga telepon satelit lolos hingga ke Baghdad.
Padahal di era 1991 bahkan komputer pun tak diizinkan masuk.
Kondisi itu semakin dihidupkan dengan munculnya rumah makan dan cafe menarik, serta berbagai mobil mewah yang berseliweran.
Bahkan perjalanan darat dari Amman (Jordania) ke Baghdad (Irak) sejauh 1.000 km pun hampir tak terasa.
Kecepatan 160 km/jam serasa 40 km/jam karena jalanan high way-nya dalam kondisi prima dan di kiri-kanan hanyalah padang pasir. Kondisi ini terjadi setelah PBB memberlakukan kebijakan "Oil for Food" tahun 1996.
Irak yang semula dilarang menjual minyaknya, sejak itu diizinkan menjual sekitar 2 miliar US Dollar dalam tempo sekitar enam bulan.
Harus diakui, sedikit kemurahan ini sudah cukup bagi Irak. Sebab, negeri itu memang cukup kaya.
Irak memiliki kandungan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi dan memiliki cadangan minyak 115 miliar barrel.
Mungkin perlu diingat, ketika AS menyerang tahun 1991 dengan alasan menghalau Irak dari Kuwait, negeri "Abu Nawas" ini sedang memegang sekitar 40% peredaran minyak dunia.
Karena itu, posisi Irak di percaturan politik internasional sangat kuat.
Saddam mengibaratkan, jika dikehendaki, kilang minyak Arab Saudi - yang terbesar di dunia itu - bisa dijangkau rudal Irak dengan sekali tembakan.
Namun, jika Saddam menyerang Kuwait, hal itu lebih didasarkan pada kondisi dasar pikiran Saddam.
Jauh sebelum menjadi Presiden Irak, Saddam yang pernah berkuliah di Kairo, Mesir, itu selalu berpendapat, Kuwait sebenarnya salah satu provinsi atau bagian dari Irak.
Karena itu, suatu saat harus dikembalikan. Pikiran – yang sudah menghantui bahkan ketika Saddam masih remaja - ini benar-benar ia laksanakan setelah 10 tahun menjabat presiden.
Kondisi itu ditambah dengan alam Irak yang indah, jauh berbeda dengan wajah Negeri Timur Tengah pada umumnya. Bisa dimengerti jika Irak lebih hijau dengan pertanian cukup subur, karena memiliki dua sungai, Eufrat dan Tigris.
Baca juga: Belajar dari Saddam Hussein dan Muammar Gaddafi, Kim Jong Un Genjot Program Nuklir di Tahun 2018
Minyak dan minyak
Tak bisa dihindari, Irak yang menakjubkan itu banyak menjadi incaran. Hal itu ditambah kenyataan Irak menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah yang belum juga bersedia "tunduk" kepada AS.
Irak menjadi satu-satunya "ganjalan" AS untuk menguasai keseluruhan Timur Tengah, terutama candangan minyaknya.
AS sendiri berkali-kali menentang pendapat yang mengatakan, keinginannya menyerang Irak lebih didorong ambisinya menguasai minyak Irak.
Bahkan penerima Penghargaan Nobel Perdamaian 2002, mantan Presiden AS Jimmy Carter, pun mendukung penjelasan AS itu.
Selama ini, Jimmy Carter dikenal sebagai salah satu tokoh Demokrat yang gigih menentang rencana Presiden AS George W. Bush menggulingkan Saddam.
Namun, argumentasi itu seolah hancur, setelah melihat jauh ke belakang sejarah Keluarga Bush dan Wapres AS Dick Cheney.
Sebelum terjun ke dunia politik, kedua tokoh ini adalah raja minyak AS. Baik keluarga Bush maupun Cheney dikenal sebagai keluarga "licin" karena berlumuran minyak.
Karena itu, tidak mengherankan jika kedua-keluarga itu kemudian sangat tergiur oleh kandungan minyak Irak.
Baca juga:Di Bawah Rezim Saddam Hussein, Pesepakbola akan Disiksa dan Dipenjara jika Timnas Irak Kalah
Memang, mereka harus menggulingkan rezim Saddam Hussein jika ingin mendapatkan tambahan "kekayaan" 115 miliar barrel minyak Irak.
Kesan itu diperkuat dengan kenyataan AS dan sekutu utamanya, Inggris, tetap mencari-cari alasan untuk menyerang Irak.
Diawali dengan perjuangan mengeluarkan Resolusi PBB baru yang lebih berat untuk Irak, terutama dalam pelaksanan perlucutan senjata.
Ketika resolusi sukses, di luar dugaan, Irak menunjukkan kerja sama sepenuhnya dengan PBB.
Repotnya, kesediaan Irak ini tetap tidak menyurutkan niat AS menyerang Irak. AS lalu mencari alasan menyerang setelah mengaku mendapat serangan dari Irak di zona larangan terbang.
Sekjen PBB Kofi Annan pun menentang keras keinginan AS-Inggris itu. AS segera mencari peluang dengan "mengecilkan" dokumen Irak setebal 12.000 halaman yang merupakan laporan tentang kepemilikan senjata pemusnah massal seperti dituduhkan selama ini.
Lebih parah lagi, AS justru memberi tenggat waktu Januari 2003 bagi PBB untuk mengizinkan AS menyerang Irak.
Perlu diketahui, sebanyak 95 senjata arsenal Irak untuk pemusnah massal justru diimpor dari Prancis, AS, Jerman, Inggris, Mesir, sejumlah negara Eropa Timur, dan bekas negara Uni Sovyet.
Melihat semua itu, sulit dipercaya jika AS sama sekali tidak menginginkan peluang kemungkinan mendirikan "imperium" baru di Timur Tengah dan minyak!
(Ditulis oleh Rien Kuntari, wartawan Kompas. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2003)
Baca juga: Perang Teluk, Ajang Promosi dan Uji Coba Persenjataan Canggih 'Penebar Maut'