Baca juga: Ilmu Maling Tempo Doeloe: Hilangkan Jejak dengan Buang Hajat di Rumah Korban
Meskipun yang ada di situ para sinyo dan noni akan tetapi anak pribumipun banyak juga yang menonton. Hanya tempatnya tidak di tengah lapangan melainkan di pinggir dengan kaki polos.
Andaikata ada satu dan orang anak pribumi (dengan sepatu dan membawa emban) berada di antara sinyo dan noni itu dengan sendirinya ia termasuk anak seorang priyayi gede.
Hawa sejuk, udara nyaman, bunga semarak ditambah suara musik yang merdu membuat hari Minggu siang di kota kecil itu betul-betul tidak mudah untuk dilupakan.
Yang paling menderita tentunya para pemain musik. Dengan setiwel dan jas tutup mereka seolah-olah dibalut selimut tebal. Itulah sebabnya belum berselang lama jas itu sudah basah semua.
Makin sore suasana makin menarik. Nyonya Belanda dengan longdress mode tempo doeloe serta meneer yang berpakaian "tropis" ringan bertambah banyak. Malah suatu waktu kebun bunga itu betul-betul penuh. Seolah-olah seluruh penduduk Belanda di kota kecil itu berada di sana.
Akan tetapi jika musik mulai memainkan "Wiens Neerlands bloed door de aderen vioe it", ini tandanya pertunjukan segera akan diakhiri. Perlahan-lahan orang mulai meninggalkan lapangan.
Dimulai dengan anak-anak Belanda dengan babunya dahulu kemudian ditutup oleh nyonya dan tuan Belanda di kebun bunga. Yang paling akhir pergi adalah anak pribumi. Mereka baru meninggalkan lapangan jika para pemain musik sudah tidak kelihatan.
Sekali dalam sebulan terjadi puncak dari segala puncak. Jika tidak salah hari itu jatuh pada Minggu ke empat. Sebab pada waktu itu diadakan apa yang dinamakan "taptoe".
Baca juga: Ilmu Maling Tempo Doeloe: Bekalnya Mulai dari Primbon Hingga Kalamuding alias Ilmu Setan
Artinya jika biasanya pada waktu datang dan pulang barisan musik selalu di jemput dan di antar dengan kendaraan maka pada sore itu mereka harus berjalan pulang sambil bermain.
Disamping itu jumlah anggotanya diperbanyak menjadi 3 kali lipat. Karena sementara itu sudah malam maka di kanan kiri setiap pemain berjalan seorang serdadu yang membawa obor. Romantis sekali. Jadi sambil "trejin, trejin" barisan itu menuju tangsi.
Kini anak pribumilah yang bersuka ria. Jika pada tempat permulaan hanya diikuti oleh anak-anak yang ada disana akan tetapi sepanjang jalan ekor itu makin lama makin panjang. Dan ekor tersebut ikut hidup sesuai dengan irama musik yang dibawakan.
Baru sesuatunya menjadi tenang jika barisan memasuki gapura tangsi. Dengan itu pula diakhiri hari Minggu siang di kota Kompeni Salatiga.
(Ditulis oleh A. Soeroto. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari Oktober 1974)
Baca juga:Makanan Tradisional di Kampoeng Tempoe Doeloe
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR