Tarisah misalnya, selalu memindahkan karyawannya ke warung-warung yang dimiliki oleh lima saudaranya yang lain. “Terus nanti muter lagi sampai balik ke sini,” terangnya.
Modalnya Rp30 jutaan
Selain untuk penyegaran, pertukaran karyawan juga terkait dengan pengenalan mereka terhadap pelanggan. Maklum, setiap warteg memiliki model pelanggan yang berbeda, bergantung pada lokasi dan situasi setempat.
Ada warteg yang pelanggannya pekerja kantoran, pekerja bangunan, atau pelajar. Pengenalan tipe pelanggan semacam ini penting sebelum karyawan memutuskan untuk mendirikan warteg atas namanya sendiri.
Dalam bisnis warteg, ungkap Tarisah, keterampilan dasar tentu saja kemampuan memasak. Meski demikian, mereka juga dipermak untuk menguasai kemampuan manajemen supaya bisa mengelola bisnis agar tidak rugi.
(Baca juga: Membuat Bisnis Keluarga Yang Profesional)
Nah, dua keterampilan ini tidak ada sekolahnya, tapi langsung dari dapur ke dapur. Program pertukaran karyawan ini berlangsung rutin dan bisa terjadi bertahun-tahun.
“Begitu terus, mungkin sampai keluar atau kawin,” kata perempuan yang mengenal bisnis warteg dari mertuanya ini.
Karyawan baru dapat membuka warteg atas namanya sendiri setelah dianggap mampu. Indikatornya, antara lain, jika sudah berkeluarga.
Kalau memang dia punya modal, eks-majikan bisa membantu dengan mencarikan lokasi yang pas untuk buka warung.
Tapi kalau modalnya juga cekak, mantan bos juga harus pengertian. Membantu dalam bentuk finansial, meski jumlahnya sangat terbatas.
Mendirikan sebuah warteg memang butuh strategi yang pas. Maklum, modal satu warteg tidaklah kecil, yakni berkisar Rp30 jutaan. Jumlah itu belum termasuk harga sewa per tahun, bergantung dari lokasi usaha.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR