Kedekatan itulah yang kemudian melahirkan semacam peraturan tak tertulis dalam bisnis warteg: mereka tidak boleh sukses sendirian.
(Baca juga: Jika Tak Dibongkar, Rumah Mewah Juragan Warteg Mungkin Akan Bernasib Sama dengan Rumah Ini)
Kesuksesan mereka harus ditularkan juga kepada seluruh keluarga dan kerabat.
“Yang penting keluarga ikut sukses, nanti kalau sudah berhasil, baru dibiarkan jalan sendiri,” ungkap Tarisah, pengusaha warteg di Jakarta Barat yang 20 tahun melakoni usaha ini.
Anak-anak muda kader pengelola warteg ini digembleng mulai dari nol, berawal dari posisi pelayan dengan segala pekerjaan yang diembannya.
Transfer ilmu dari pemilik usaha terjadi sambil menjalankan operasional sehari-hari. Tanpa banyak teori, pelayan akan langsung praktik dengan bekerja. Ini juga berlaku di warung pecel lele.
Untuk jumlah pekerja, antara warteg dan warung pecel lele ada perbedaan. Wiwit, 27 tahun, seorang pedagang pecel lele di Jakarta Barat, mengungkapkan, paling tepat dalam satu warung pecel lele ada satu bos dan dua anak buah.
Berbeda dengan warteg yang membutuhkan tenaga lebih banyak, yaitu berkisar empat orang. Penyebabnya, karena jam operasional warteg relatif lebih lama.
Idealnya, keempat karyawan di warteg terdiri atas tiga perempuan dan satu laki-laki. Perempuan bertugas di wilayah dapur, melayani pesanan, sampai menjadi kasir.
Sementara karyawan lelaki lebih banyak membantu untuk membeli keperluan sehari-sehari di pasar dan melayani pemesanan minuman.
(Baca juga: Tolak Uang Ganti Rugi, Rumah Juragan Warteg Ini Berdiri Sendirian di Tengah Tol Pejagan-Pemalang)
Dalam warteg ada istilah tukar guling pelayan antarwarteg dalam satu keluarga. Pertukaran karyawan antarjaringan bisnis keluarga ini terjadi dalam kurun waktu tiga sampai empat bulan sekali.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR