Tentu saja ia tidak bisa bercerita karena belum bisa mengungkapkan perasaannya saat itu.
Emosi yang labil setelah kemoterapi dan radioterapi, mual, dan lainnya adalah reaksi yang wajar bagi penderita kanker. Bayi dan anak-anak kecil bisanya hanya rewel sebagai ungkapan perasaan. Namun, kadang orangtua tidak mengerti hal itu.
Sementara, ketika menderita kanker, usiaku sudah beranjak remaja, sehingga aku tahu apa yang kurasakan dan bisa mengungkapkannya.
Aku lalu mendatangi dr. Jayadiman yang dulu menangani penyakitku di RSCM. Beliau menyarankan untuk bergabung dengan Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), sebuah yayasan yang berkecimpung di dunia kanker anak yang berkantor di area RS Kanker Dharmais, Jakarta Barat.
Baca Juga : Mengenal Cara Kerja Leukemia, Kanker yang Sebabkan Meninggalnya Putra Pertama Farhan
Setelah bergabung, aku sering terlibat dalam seminar kanker untuk memberikan testimoni sebagai survivor. Sejak itulah, aku sering pergi-pulang Pandeglang-Jakarta sendiri dengan menumpang bus, tidak lagi merepotkan ibuku.
Di YOAI pula, aku bertemu para survivor kanker anak lainnya, antara lain Priesnanda, Saprita Tahir, Andrew Manulang, dan Ario Falah.
Tahun 2006, di bawah naungan YOAI, kami berlima lalu mendirikan Cancer Buster Community (CBC) yang artinya komunitas pembasmi kanker. Disebut pembasmi kanker karena kami, para pendirinya berhasil membasmi kanker dari tubuh kami.
Mengunjungi Pasien
Komunitas ini beranggotakan para survivor kanker anak, yang notabene telah lima tahun dinyatakan bersih dari kanker sejak pengobatannya selesai.
Baca Juga : 11 Fakta tentang Leukemia dan Kanker Darah Lainnya yang Wajib Diketahui
Hingga kini, ada 75 anggota CBC dari seluruh Indonesia. Di komunitas ini, aku dan teman-teman, sendiri maupun bersama-sama, sering menjenguk pasien kanker anak ke rumah sakit atau rumah mereka.
Selain memberikan motivasi pada pasien, aku juga memberikan gambaran tentang kanker baik dari sisi tahapan pengobatan maupun pengalaman sebagai pasien kanker berdasarkan yang pernah kulalui.
Gambaran seperti itulah yang kemudian membuat banyak orangtua pasien yang kutemui jadi bisa memahami apa yang dialami anaknya, sekaligus tahu gambaran jadwal dan lamanya pengobatan.
Kalau melakukan trip ke luar kota, biasanya aku menyempatkan diri mengunjungi mereka di rumah sakit setempat, dengan seizin dokternya.
Baca Juga : Gadis Satu Tahun Ini Jadi Orang Pertama yang Sembuh dari Leukemia dengan Terapi Rekayasa Kekebalan
Aku dengan mudah mendapat izin karena mendapat rekomendasi dari dr. Edi S. Tehuteru, Sp.A(K), dokter anak di RS Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta.
O iya, setelah aku lulus kuliah, tahu aku sedang mencari kerja, dr. Edi lalu mewawancaraiku untuk pekerjaan sebagai Sekrertaris Indonesian Journal of Cancer dan bagian Litbang di RSKD. Alhamdulillah, aku diterima.
Karena setiap minggu rapat bersama para dokter untuk membahas penelitian mereka tentang kanker, sedikit banyak aku tahu pengobatannya.
Namun, bila ada orangtua pasien yang bertanya padaku tentang obat kanker, pertanyaan itu kuteruskan ke dokter, lalu jawabannya keteruskan ke orangtua pasien.
Baca Juga : Chen Dejuan, Menjual Pelukan untuk Pengobatan Putrinya yang Menderita Leukemia
Ya, aku sering mendapat pertanyaan dari orangtua pasien atau sekadar sapaan dari pasien kanker anak. Aku senang meladeninya.
Aku sendiri sangat bersyukur berhasil sembuh dan satu per satu hal-hal yang dulu hanya ada dalam impianku, kini mulai menjadi kenyataan. Salah satunya, traveling.
Sekarang aku bisa melakukannya sesuka hati, bahkan sampai ke luar Jawa. Kini, tinggal satu lagi impian yang kutunggu datangnya, yaitu menikah dan melahirkan anak. Aku pasrah pada Allah kapan jodohku akan datang.
Sementara ini, kujalani saja dulu hidupku dengan senang hati. (Hasuna Daylailatu)
Baca Juga : Alergi Serbuk Sari Tingkatkan Risiko Leukemia
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR