Advertorial
Intisari-Online.com - Di awal 2019 ini, sudah terjadi banyak gempa bumi yang mengguncang beberapa wilayah di Indonesia.
Dilansiroleh Tribunnews.com, hingga saat ini sudah beberapa gempa mengguncang beberapa wilayah di Indonesia.
Awal 2019, tepatnya pada Selasa (1/1/2019), Kepulauan Talaud diguncang gempa berkekuatan 5.0 SR.
Gempa di Kepulauan Talaud menjadi gempa pertama di Indonesia pada 2019.
Baca Juga : Filipina Diguncang Gempa 7,1 SR, Beberapa Kota di Indonesia Ikut Rasakan Guncangannya
Selanjutnya, disusul gempa yang mengguncang Tapanuli Utara, Sumatera Utara dengan magnitudo 3,4 SR.
Tak sampai di situ, gempa cukup kencang juga sempat mengguncang Halmahera Barat, Maluku Utara pada Senin (7/1/2019) lalu.
Gempa bermagnitudo 6.5 SR sempat mengguncang Halmahera Barat.
Setelah gempa yang terjadi di luar Pulau Jawa, gempa juga terjadi di Pulau Jawa.
Baca Juga : Orang-orang Filipina Terkejut dan Berbagi Pengalaman yang Mencekam Pascagempa Berkekuatan 7,1 SR
Di hari yang sama dengan gempa Halmahera Barat, Tasikmalaya digunvang gempa berkekuatan 4.8 SR.
Keesokan harinya, pada Selasa (8/1/2018), Sukabumi juga diguncang gempa berkekuatan 5.4 SR.
Adanya berbagai gempa tentu membuat masyarakat was-was dan waspada.
Oleh karena itu, terbitlah berbagai kajian ilmiah yang baru-baru ini menulis mengenai aktifnya jalur patahan Pulau Jawa yang menjadi penyebab gempa bumi.
Aktifnya jalur patahan di Pulau Jawa, termasuk di dua daerah padat penduduk, yaitu selatan Jakarta dan utara Bandung.
Kajian itu harus mendapat perhatian serius untuk mitigasi bencana ke depan.
Dua kajian ilmiah telah dipublikasikan di jurnal internasional yang berbeda pada Januari 2019 yaitu oleh Endra Gunawan dan Sri Widiyantoro di Journal of Geodynamics dan Mudrik R. Daryono bersama Danny H. Natadwidjaja, Benjamin Sapiie, dan Phil Cummins di jurnal Tectonophysics.
"Riset kami telah mengidentifikasi tektonik deformasi aktif di Jawa menggunakan data GPS (global posititioing system) menerus dari tahun 2008 sampai 2013. Kami menghitung strain rate (laju regangan)," kata Endra Gunawan, peneliti dari Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (ITB), yang dihubungi Minggu (6/1/2019), di Jakarta.
Dari kajian itu, ditemukan secara umum terjadi laju regangan yang besar di Pulau Jawa, yaitu lebih dari 1 mikrostrain per tahun hingga mencapai sekitar 5 mikrostrain per tahun di kawasan yang mengalami deformasi setelah gempa tahun 2006.
Baca Juga : Meski Mendapat Peringatan Tsunami, BMKG Pastikan Tak Ada Potensi Tsunami di Indonesia Akibat Gempa Filipina
Kajian tersebut juga menemukan adanya laju tekanan dilatasi zona patahan yang besar (< -3 mikrostrain per tahun) di sepanjang patahan Cimandiri dan Cipamingkis di Jawa Barat, patahan di selatan Jakarta, patahan Kendeng yang memanjang dari Semarang ke Jawa Timur hingga masuk ke Selat Madura.
Sementara laju regangan yang besar (di atas 1 mikrostrain per tahun) ditemukan di Wongsorejo dan patahan Montong di Jawa Timur dan patahan Lasem di Jawa Tengah.
"Laju regangan dan tekanan ini menunjukkan ada kawasan tektonik aktif. Dari hasil studi ini, kita perlu memberi perhatian lebih pada sesar di dekat kota besar padat penduduk seperti Semarang, Surabaya, dan terutama Jakarta," kata Endra.
Laju regangan dan tekanan ini menunjukkan ada kawasan tektonik aktif. Dari hasil studi ini, kita perlu memberi perhatian lebih pada sesar di dekat kota besar padat penduduk, terutama Jakarta.
Kajian itu menguatkan riset sebelumnya oleh A. Koulali dari Australian National University (ANU) pada 2016 tentang keberadaan jalur patahan di Pulau Jawa.
Catatan sejarah menunjukkan, gempa kuat pernah terjadi di Jakarta pada 22 Januari 1780 yang guncangannya dirasakan hingga tenggara Sumatera dan Jawa Barat. Gempa ini diperkirakan berkekuatan M 8,5.
Kajian Nguyen dan tim dari ANU (2015) menyebutkan, gempa pada 1780 kemungkinan sumbernya di sesar Baribis atau di lengan lempeng karena luasnya dampak guncangan.
Endra menyebutkan, gempa berkekuatan M 8,5 minimal dipicu oleh patahan dengan panjang 350 kilometer.
Padahal, daerah regangan yang ditemukan di selatan Jakarta hanya meliputi 50 km, yang setara dengan bangkitan gempa M 7,1.
Ada dua kemungkinan, pertama, gempa tahun 1780 tak terkait dengan sesar Baribis. Kedua, sesar di selatan Jakarta berbeda dengan patahan Baribis, tetapi merupakan patahan tersendiri seperti studi Marliyani (2016).
Baca Juga : Gempa Filipina, Wilayah Indonesia Mendapat Peringatan Tsunami, BMKG Masih Analisis
"Dibutuhkan kajian lebih mendalam, terutama dengan memasang GPS lebih rapat, dan kombinasi kajian seismik dan observasi geologi. Melihat risikonya, ini seharusnya jadi prioritas ke depan," katanya.
Kajian Arthur Wichman (1918) juga menyebut, gempa amat kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699, pukul 01.30. Selain merobohkan banyak bangunan, gempa itu menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak, Jawa Barat.
Menurut Endra, jarangnya kejadian gempa di Pulau Jawa termasuk di Jakarta, dibandingkan Sumetara,bisa dibaca sebagai terjadinya pengumpulan energi. Semakin lama tidak gempa, potensi gempa ke depan bisa semakin besar.
Sesar Lembang
Mudrik R. Daryono, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, risetnya membuktkan keaktifan sesar Lembang di utara Kota Bandung.
Kajian ini menunjukkan, kecepatan pergerakan sesar Lembang mencapai 1,95 – 3,45 milimeter per tahun.
Dengan panjang patahan hingga 29 km, potensi gempa yang bisa dihasilkannya sebesar M 6,5 – 7 dengan waktu perulangan sekitar 170 – 670 tahun.
Mudrik juga melakukan uji paritan untuk mengetahui paleoseismik dan menemukan bukti minimal adanya tiga gempa besar di jalur patahan ini, yaitu abad ke-15, 2300 sebelum Masehi, dan 19.620 – 19.140 tahun yang lalu.
Baca Juga : Gempa 6,9 SR Hantam Filipina, Peringatan Tsunami untuk Wilayah Filipina dan Indonesia
"Tiga gempa besar di masa lalu ini hanya yang ketemu dari uji paritan secara manual. Perlu uji paritan lebih besar menggunakan mesin ekskavator dan pembelian lahan yang tentunya lebih mahal untuk mengetahui perulangan gempa lebih banyak lagi," kata Mudrik.
Akan tetapi, dari kajian yang dilakukan, cukup menjadi dasar pentingnya melakukan upaya mitigasi untuk mengantisipasi ancaman ke depan.
Selain kepadatan penduduk di sekitar zona patahan, dampak guncangannya ke Bandung juga bisa memicu bencana ikutan.
"Dengan publikasi ini saya mengharapkan penelitian ikutannya tentang kemungkinan likuifaksi dan amplifikasi gempa serta dampak lainnya di kawasan Bandung dan sekitarnya," ungkapnya.
Artikel ini pernah tayang di Tribunnews.com dengan judul: Hasil Riset Ahli Ungkap Potensi Gempa Besar di Pulau Jawa, Termasuk Jakarta dan Bandung