Maka, dengan terus terang saya ajukan kepada Mas Herjuno seluruh kondisi saya dan kecemasan saya tersebut.
Ia hanya menjawab, "Yang penting saya senang sama kamu. Dan kamu harus bersedia patuh pada saya."
Lantas Mas Herjuno menekankan kewajiban-kewajibannya, baik sebagai pribadi maupun fungsinya dalam keluarga besar Keraton. Dan ia juga menggarisbawahi keharusan saya beradaptasi dengan budaya Keraton.
Kabur ke Jerman
Apakah saya mampu? Kesangsian itu terus melanda saya. Begitu hebatnya keragu-raguanitu, hingga saya sempat kabur ke Jerman, menjumpai kakak di sana.
Baca Juga : Sultan Hamengku Buwono IX Telah Meramalkan Peristiwa G30S Setelah 'Berkomunikasi' dengan Nyi Roro Kidul
Saya utarakan segala kecemasan kepadanya. Bahkan saya sempat berkata tidak bersedia menikah dengan Mas Herjuno. Saya takut! Saya kehilangan kepercayaan diri!
Sekitar tiga bulan saya berada di Jerman. Bahkan ada niatan untuk sekolah di Eropa. Tapi toh saya memutuskan pulang ke Indonesia. Ada dorongan hati untuk melanjutkan kuliah di Universitas Trisakti.
Tapi, sesungguhnya, penyebab utama saya balik ke Indonesia adalah telepon dari Jakarta yang meminta saya selekasnya pulang. Saya akan dinikahkan.
Orangtua saya, terutama Ibu, sampai menangis dan dengan keras mengimbau agar saya bersedia dinikahkan.
Baca Juga : Sri Sultan Hamengku Buwana IX Enggan Merayakan Pengangkatannya
Beliau memohon agar saya menuruti permintaannya. Katanya, "Kamu anak perempuan satu-satunya. Kepada siapa lagi kamu bersedia menurut kalau tidak kepada orangtuamu sendiri."
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR