Advertorial
Intisari-Online.com - Kotoran ternak mungkin bukan hal besar yang patut dipermasalahkan.
Namun ternyata, hal yang kita remehkan ini bisa dilihat dari luar angkasa telah menyelimuti bumi.
Hal yang dilihat dari luar angkasa tentu bukan wujud kotoran hewan yang sesungguhnya, tetapi gas amonia yang dihasilkan oleh kotoran tersebut.
Gas amonia (NH3) adalah gas limbah tak berwarna yang terbentuk ketika nitrogen dan hidrogen menyatu.
Baca Juga : Setelah Jual Ponsel Bekasnya, Wanita Ini Dapat Pesan dari Pembelinya dan Hidupnya Jadi Tak Tenang
Gas ini ada di seluruh dunia, namun yang paling banyak muncul karena kotoran hewan, entah itu dari air seni atau tinja.
Saat kotoran hewan dalam jumlah banyak membusuk, misalnya di sebuah peternakan besar, gas amonia yang dilepaskan dapat bergabung dengan senyawa lain dan mencemari udara, air, dan tanah.
Paparan ini dapat menyebabkan penyakit paru-paru hingga kematian, gagal panen, dan kematian hewan massal.
Dengan melacak dan mengatur emisi amonia dapat membantu mencegah bahaya tersebut.
Baca Juga : Kisah Getir Cyntoia Brown, Mantan Budak Nafsu yang Dipenjara 51 Tahun Karena Melakukan 'Perlawanan'
Dengan pemikiran itu, sebuah tim ilmuwan yang dipimpin para peneliti dari Université Libre de Bruxelles (ULB) di Belgia menggabungkan sembilan tahun data satelit untuk membuat peta paling komprehensif dari gas amonia di atmosfer.
Peta amonia yang dibuat tim ULB telah diterbitkan bersama laporannya dalam jurnal Nature yang terbit Rabu (5/12/2018).
Dalam makalah itu mereka mengungkap ada lebih dari 200 titik yang mengandung emisi amonia di seluruh dunia, dua pertiga di antaranya belum pernah diidentifikasi sebelumnya.
"Hasil kami menunjukkan bahwa hal ini perlu sepenuhnya meninjau kembali persediaan emisi amonia antropogenik dan memperhitungkan evolusinya dari waktu ke waktu," tulis para ahli.
Berasal dari mana?
Untuk studi baru mereka, para ahli menganalisis data yang dikumpulkan sejak 2007 sampai 2016 oleh satelit MetOp, tiga satelit meteorologi yang diluncurkan Badan Antariksa Eropa (ESA) untuk mengamati berbagai komponen yang ada di atmosfer Bumi, termasuk gas amonia.
Baca Juga : Kisah Getir Cyntoia Brown, Mantan Budak Nafsu yang Dipenjara 51 Tahun Karena Melakukan 'Perlawanan'
Data ini mengungkap 242 titik amunisi atau zona emisi dengan diameter kurang dari 50 kilometer serta 178 zona emisi yang lebih luas.
Tim juga menggunakan citra satelit untuk mengkonfirmasi sumber dari zona emisi amonia.
Mereka menemukan, setidaknya ada 241 titik yang terkait dengan aktivitas manusia.
Dari jumlah tersebut, 83 di antaranya dikaitkan dengan peternakan intensif dan 158 dikaitkan dengan industri lain, terutama perkebunan yang menggunakan pupuk berbasis amonia.
Baca Juga : Memberlakukan Wajib Militer, Ini 8 Peraturan Militer Israel yang Aneh!
Sementara itu, satu-satunya titik amonia alami ada di Danau Natron, Tanzania.
Zona amonia di kawasan ini diduga kuat disebabkan oleh banyaknya ganggang dan materi lain yang membusuk di lumpur yang mengering.
Mineral yang mengalir ke danau dari bukit di sekitarnya membuat air sangat alkalin sehingga membuat danau mengandung pH hingga 10,5 (Sebagai perbandingan, amonia memiliki pH sekitar 11).
Dengan melihat perubahan tingkat amonia di atmosfer seluruh dunia, para peneliti dapat melihat kapan pertanian atau pabrik dibuka, ditutup, dan sampai diperluas.
Misalnya titik amonia yang bermekaran di Xinjiang, China pada 2012 bertepatan dengan pembukaan pabrik pupuk di sana.
Lebih penting lagi, peta tersebut menunjukkan bahwa manusia telah sangat meremehkan jumlah amonia yang dilepaskan karena aktivitasnya ke atmosfer.
Menurut ahli, dua pertiga titik panas yang ditemukan belum pernah diidentifikasi oleh survei lingkungan sebelumnya.
Baca Juga : Berniat Tenangkan Nafsu Birahi Suaminya, Wanita Ini Malah Tidak Sengaja Membunuhnya
Sementara hotspot lainnya telah dilaporkan secara signifikan.
Namun pemetaan ini masih memiliki kekurangan dan keterbatasan yang disebabkan satelit sulit menghitung emisi amonia di daerah berangin seperti gunung dan pantai.
"Emisi amonia di banyak negara saat ini meningkat, bahkan di Uni Eropa, yang telah berkomitmen untuk mengurangi emisi sampai enam persen pada 2020 dan 19 persen pada 2030, dengan tingkat pembanding pada 2005," kata Mark Sutton dan Clare Howard, dua peneliti di Pusat NERC untuk Ekologi & Hidrologi di Edinburgh, Skotlandia, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
"Dikombinasikan dengan model atmosfer, teknologi satelit menawarkan alat independen yang berharga untuk memeriksa apakah negara benar-benar mencapai tujuan mereka," tukas mereka.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Terlihat dari Luar Angkasa, Kotoran Hewan Telah Menyelimuti Bumi"