Pada yang didiagnosis hipertensi resisten, sebaiknya mereka terlebih dahulu menjalani ABPM. Pertimbangannya, satu dari empat pasien yang dirujuk lantaran didiagnosis hipertensi resisten, ternyata TD mereka telah terkontrol dalam pemeriksaan ABPM, sehingga investigasi untuk mencari penyebab sekunder hipertensi yang berbiaya tinggi dapat dihindari.
Apakah penderita hipertensi jas putih perlu mendapatkan terapi antihipertensi?
Pertanyaan tersebut sejak dekade terakhir masih menjadi perdebatan klinis. Sebagian ahli menyatakan tidak perlu. Alasannya, hipertensi jas putih tidak memiliki risiko tinggi terhadap kejadian kardiovaskuler, seperti serangan jantung atau gagal ginjal.
Orang dengan fenomena ini juga tidak menunjukkan manifestasi perubahan fisiologis akibat hipertensinya. Untuk itu, mereka tidak menganjurkan terapi spesifik pada hipertensi jas putih.
Kelompok ahli lain berpandangan bahwa hipertensi jas putih harus diobati berdasarkan hasil pengukuranTD di klinik. Hal tersebut lantaran orang dengan hipertensi jas putih memiliki karakteristik morfofungsional bilik kiri jantung sangat berbeda dengan orang normal.
(Baca juga: Kisah Pilu Bayi-bayi dalam Inkubator di Suriah yang Terpaksa Disembunyikan di Bawah Tanah)
Cirinya mirip penderita hipertensi sebenarnya. Di antaranya penebalan otot bilik kiri jantung, penurunan fungsi diastolik, perubahan resistensi vaskuler.
Selain itu, hipertensi jas putih ternyata kerap berkaitan dengan peningkatan kadar trigliserida, peningkatan kadar kolesterol berdensitas rendah (LDL), penurunan kadar kolesterol berdensitas tinggi (HDL), resistensi insulin, dan kegemukan.
Semuanya merupakan faktor risiko terjadinya insiden kardiovaskuler.
Walhasil, orang dengan hipertensi jas putih dengan peninggian TD tingkat I (140-160/90-100 mmHg) dan tidak memiliki faktor risiko kardioyaskuler yang berarti seperti kencing manis (diabetes mellitus), riwayat penyakit jantung koroner, hiperlipidemia atau riwayat merokok, disarankan untuk terlebih dahulu menjalani modifikasi gaya hidup (penurunan berat badan, pembatasan garam, stop merokok, olahraga, dll.) selama 3 - 6 bulan.
Biasanya, sekitar 12% dari mereka akan menjadi normotensi. Namun, bila tetap tinggi dianjurkan untuk mendapat terapi obat dan modifikasi gaya hidup.
Pada mereka yang memiliki riwayat kencing manis atau penyakit ginjal tampaknya perubahan gaya hidup sulit menurunkan TD di bawah 140/90 mmHg. Karena itu, mereka sepatutnya langsung mendapat terapi obat-obatan. (dr. A. Fauzi Yahya – Intisari Februari 2003)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR