Jadi, setelah sekian tahun misteri harta karun PD II yang hilang mulai terbuka sebagian. Meski bukan berarti kisah lalu berhenti sampai di situ, karena banyak usaha terus dilakukan untuk melacak sepertiga bagian lainnya harta karun Quedlinburg.
Di luar itu pengacara Jerman dan Amerika masih menemukan kumpulan karya senilain, yang sama sekali tidak berhubungan dengan Quedlinburg. Malah nampaknya harta yang satu ini diangkut dari Prancis dan Jerman.
Peninggalan Harimau Malaya
Di belahan lain dunia, seorang jenderal Jepang diduga sempat mengumpulkan harta karun yang luar biasa banyaknya. Adalah Jenderal Tomozuki Yamashita, yang tentaranya menguasai Filipina dengan brutal selama 3 tahun sebelum akhirnya kepulauan itu direbut oleh Amerika.
Nama Yamashita selanjutnya tak pernah lepas dari penjarahan dan penyiksaan. Berbeda dengan umumnya perwira tinggi Jepang, sang Jenderal, yang dijuluki Harimau Malaya karena serbuan kilatnya di Semenanjung Malaya di permulaan perang berhasil ditangkap hidup-hidup oleh sekutu.
(Baca juga: Orang-orang Ini Cemooh Sketsa Wajah Pelaku Kejahatan, Tapi Kemudian Terkejut saat Penjahat Tersebut Tertangkap)
Yamashita pun dituding sebagai penjahat perang dan menjalani hukuman gantung pada Februari 1946. Nama Yamashita tak dilupakan sampai di situ saja, karena dengan kematiannya ia membawa serta rahasia harta yang sampai sekarang masih membuat para petualang dan pemburu harta penasaran.
Di manakah timbunan harta yang disebut-sebut sebagai kekayaan terbesar di dunia ini? Dalam kekisruhan perang ia justru mampu mengumpulkan kekayaan, yang konon terdiri atas batangan emas dan perak, serta batu-batu berharga dari kuil-kuil di seluruh Asia Tenggara.
Sebelum menyerahkan pada sekutu tahun 1945, Yamashita diperkirakan telah menyembunyikan kekayaannya di Pulau Lubang, Kepulauan Filipina.
Ketika perang berakhir, tak hanya puluhan mantan tentara Jepang yang berusaha mencarinya, begitu juga tim penyelidik resmi pemerintah Filipina. Malah tahun 1972, Ferdinand Marcos, mantan presiden Filipina, memerintahkan dibentuknya komando tentara khusus untuk mencari harta itu di Lubang dan pulau-pulau sekitarnya.
Namun hanya laporan kosong yang diterimanya, sama nihilnya dengan pemburu harta lainnya.
Barulah tahun 1974, muncul harapan ketika tiba-tiba dari hutan Lubang keluar seorang pria Jepang yang konon mengaku sebagai tentara terakhir Jepang. Letnan Hiru Onada pria Jepang itu, menghabiskan 29 tahun hidupnya di dalam hutan, karena yakin perang masih terus berlangsung.
Tangannya telah merenggut 39 nyawa baik dalam pertempuran kecil dengan patroli polisi Filipina, maupun saat menggarong rumah penduduk kampung pulau itu saat mencari makan.
(Baca juga: Kisah Polisi Hoegeng: Mulai dari Bikin Panas Pantat para Gembong Hingga Pernah Diburu Penculik)
Meskipun Onada tidak pernah mengakuinya, ada indikasi kuat bahwa ia orang terakhir pasukan tentara elite Jepang yang mampu bertahan. Konon pasukan ini dikirim ke Filipina oleh Yamashita dalam fase perang terakhir dengan tujuan tunggal menjaga harta itu.
Menurut catatan tahun 1944 ia dikirim mengikuti pelatihan di Nakaho Gekko, sekolah militer rahasia Jepang. Ini biasanya prosedur rutin bagi semua tentara Jepang yang akan mengemban misi khusus.
Hampir setiap tentara yang lulus dari pelatihan itu yang selamat dari medan pertempuran, melakukan bunuh diri ketika Jepang mengalami kekalahan.
Namun Onada tidak. Mungkin karena ia secara khusus diperintahkan untuk bertahan, meskipun tentara Jepang sudah kalah.
Menurut, beberapa pejabat Filipina, sang letnan menyerahkan diri bukan karena putus asa, melainkan karena takut suatu hari ia tanpa sengaja justru akan menuntun patroli pemerintah ke tempat penyimpanan harta itu.
Setelah penyerahan diri Onada, Ferdinand Marcos menerapkan pengawasan yang ketat terhadap arus wisatawan yang mengunjungi Pulau Lubang. Marcos telah tiada, namun pengawasan itu tetap berlaku.
Jika harta itu benar ada di sana, pemerintah Filipina bertekad menjadi penemunya. (UMWW II/sht)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1995)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR