Intisari-Online.com – Perumpamaan itu tidak berlebih-lebihan, karena dalam kenyataannya memang hanya otaknya yang masih berfungsi dengan prima.
Bahkan lebih hebat dari otak orang yang masih tokcer seluruh tubuhnya.
Kehebatan otaknya tidak bisa kita tiru, tetapi ketabahannya menghadapi cacatnya bisa menjadi teladan.
Begini catatan Intisari mengenai sosok jenius yang terbit pada Mei 1985 lalu:
Dengan menyengir lucu ia menyalami tamu-tamu yang datang di kantornya di Universitas Cambridge. Matanya yang biru bersinar sedikit nakal dari balik kacamata berbingkai baja.
Usianya (waktu itu) 42 tahun, tapi raut mukanya yang kekanak-kanakan membuatnya lebih mirip seorang mahasiswa daripada guru besar.
(Baca juga: Stephen Hawking Meninggal Dunia: Ketika Hawking Puas Menikmati Gravitasi Nol)
Tubuhnya yang tenggelam dalam kursi roda listrik itu, kurus dan lemah, adalah sosok tubuh orang tua yang tidak berdaya. Bicaranya sulit sekali, hampir tidak bisa dimengerti.
Bidang sains baik untuk orang cacat
Kendati— atau mungkin justru berkat — cacat inilah ahli ilmu pasti terkemuka Stephen Hawking berhasil dalam ilmu fisika, melangkah jauh ke depan sejak zaman Albert Einstein. la bahkan sering dipandang sebagai jawaban atas Einstein di paro kedua abad ini.
"Untuk mendalami teori fisika, saya tidak mendapat hambatan yang berarti dari cacat saya ini. Bahkan membantu saya untuk bebas dari tugas administrasi dan kewajiban memberikan kuliah, yang seharusnya saya lakukan," kata Hawking.
Beberapa ahli fisika menganggap Hawking akan membawakan terobosan terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan, dengan teori yang menggabungkan kedua tonggak fisika modern:
Teori Relativitas Umum Einstein (yang menjelaskan bahwa gaya berat menentukan gerak planet, bintang, gugusan bintang dan alam semesta dengan cara yang dapat diramalkan) dan Teori Mekanika Kuantum (yang mengatakan bahwa pada taraf atom, materi berubah-ubah, jadi sifatnya tidak pasti).
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR