Intisari-Online.com - Pernah dengar seorang wanita yang setiap kali menikah selalu ditinggal mati pasangannya?
Benarkah ia ditakdirkan sial terus? Dalam kultur Jawa, manusia panas itu disebut bahu laweyan.
Nah, bagaimana duduk persoalan misteri ini beberapa “pakar” mencoba mengungkapkannya.
---
(Baca juga: Dari Bertukar Istri Hingga Membunuh Anak, Inilah 10 Hal Mengerikan Dalam Kehidupan Seksual Orang Eskimo)
Wingit dan seram. Kesan ini muncul setiap kali seseorang membayangkan suasana perkuburan. Konon tempat itu adalah markas hantu, pocong, gendruwo, dan berbagai bentuk ujud makhluk menakutkan lainnya. Orang pun enggan mendatangi tempat-tempat tersebut bila tidak disertai maksud-maksud tertentu.
Masa nyadran, beberapa hari menjelang puasa, bagi masyarakat Jawa merupakan kesempatan baik untuk nyekar. Tak heran bila banyak orang memenuhi tempat-tempat perkuburan untuk “mengunjungi” mereka yang telah lebih dulu menghadap Yang Mahakuasa.
Suasana serupa terpotret di sebuah kompleks makam Kota Semarang, Jawa Tengah. Bukan kerumunan orang yang nampak memancing perhatian, namun justru kesendirian seorang wanita paruh baya yang dengan kekhusyukan tersendiri membedakannya dengan pengunjung lain.
Rona raut wajah, tarikan napas yang dalam, serta getar bibirnya yang berucap lirih menyiratkan kalau ia menyimpan kepedihan yang mendalam. Hal ini yang mencolok, wanita rupawan ini tak cukup nyekar pada satu kubur, meski sesungguhnya ia pun bukanlah satu-satunya pengunjung makam yang berpindah dari satu makan ke makam lain.
Cukup lama waktu yang dihabiskan untuk tafakur pada tiap-tiap makam. Saat banyak pengunjung mulai meninggalkan penkuburan, ia masih betah berlama-lama merenung di sisi makam yang entah keberapa.
“Kasihan, Bu Tinah itu orangnya baik tapi kok ya nasibnya buruk. Selain mkam bapak-ibunya, ketiga makan itu adalah kubur para suaminya,” cetus Pak Dipo, juru kunci kuburan, saat melihat wanita tersebut berjalan keluar kompleks kuburan.
Tangan kurus Pak Dipo yang penuh otot menunjuk ke makam-makam suami Bu Tinah yang letaknya di ketinggian dan saling berdekatan, “Di sana, nisan putih itu makam suami pertamanya, lalu yang kedua bernisan abu-abu, sedang yang ketiga masih berupa patok kayu.”
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR