Intisari-Online.com – Jepang punya pasukan khusus pembela tanah air. Terdiri atas pilot muda berusia 20-an yang rela berjibaku, mereka menghancurkan banyak kapal dan instalasi musuh. Tapi, bagaimana perasaan anak muda yang masih ingin berada di samping orang tuanya?
Di pertokoan Broadway, Auckland, Selandia Baru, ada sebuah toko pakaian berdekorasi antik. Di atas pintu masuknya ada bagian ekor pesawat terbang lepang tiruan dengan lambang matahari terbit.
Pesawat bernomor 372 itu sayap kanannya tampak rusak, sedangkan sayap kirinya seperti menancap ke atap toko.
Nama tokonya Kamikaze. Nama itu mengingatkan saya pada suasana PD II 50 tahun yang lalu, terutama pada pilot-pilot Jepang yang dengan gagah berani melakukan jibaku (bunuh diri) menukik ke kapal-kapal perang sekutu di Samudera Pasifik untuk menghancurkannya.
Baik pilot maupun pesawatnya dikenal dengan nama kamikaze. Bagaimana mereka bisa disebut kamikaze?
Itu ada latar belakangnya. Pada tahun 1281 armada Kubilai Khan mencoba memasuki Laut Jepang dengan maksud menyerang dan merebut Jepang.
Usaha itu gagal karena angin topan tiba-tiba muncul dan memukul mundur armada penyerang. Oleh orang Jepang, angin topan itu dianggap sebagai angin penolong kiriman dewa, yang dalam bahasa Jepang disebut kamikaze.
Kami artinya dewa, sedangkan kaze artinya angin. Atas dasar pengalaman itu, pada tahun 1944 Jepang yang waswas bahwa armada AS di Samudera Pasifik akan menyerang, membentuk skuadron yang diberi nama Kamikaze.
Sekelompok pilot muda ditugaskan menerbangkan pesawat berbahan peledak, umumnya hanya sebuah bom. Dengan berjibaku mereka menjatuhkan pesawatnya ke atas kapal perang atau instalasi musuh.
Misi penyerangan pertama diberangkatkan untuk mempertahankan posisi Jepang di Filipina pada 1944. Jumlah penerbangan diperbanyak secara dramatis ketika pasukan AS merebut Pulau Okinawa di Kepulaudn Ryukyu, Pasifik Barat pada 1945. .
Pilot kamikaze terbang menjalankan tugas suci sesudah meneguk sake dan berseru, "Banzai!" Pesawat mereka yang diperlengkapi dengan satu bom itu secara sengaja diisi bahan bakar yang hanya cukup untuk satu trayek pergi karena mereka tidak diharapkan kembdli ke pangkalan.
(Baca juga: Masih Ingat dengan Raeni si Anak Tukang Becak yang Jadi Wisudawati Terbaik? Ada Kabar Baik Datang darinya)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR